BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang.
Tetanus merupakan salah satu penyakit
infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh
kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin
(tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada
orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah
diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak
melakukan booster secara berkala.
Tetanus merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian
pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar
dari 6% hingga 60%.2 Selama 30 tahun terakhir, hanya
terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai
pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada
tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang berisiko
tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang
lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang
dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian
yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan
insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per
tahun.
Tetanus ibu dan
bayi baru lahir didunia merupakan penyebab penting dari kematian ibu dan bayi
sekitar 180.000 kehidupan di seluruh dunia setiap tahun, hampir secara ekslusif
di Negara Negara berkembang. Meskipun sudah dicegah dengan maternal
immunization, dengan vaksin, dan aseptic obstetric, tetanus ibu dan bayi tetap
sebagai masalah kesehatan masyarakat di 48 negara, terutama di Asia dan Afrika.
Kasus tetanus
neonatorum di Indonesia masih tinggi, data tahun 2007 sebesar 12,5 per 1000
kelahiran hidup sedangkan target eleminasi tetanus neonatorum yang ingin
dicapai 1 per 1000 kelahiran hidup. Beberapa
upaya telah dilakukan antara lain dengan imunisasi TT diberikan sejak bayi, DPT
3x murid Sekolah Dasar, meningkatkan cakupan imunisasi TT pada Calon Penganten
(Caten), Ibu Hamil (Bumil) dan Wanita Usia Subur (WUS), surveilans Tetanus
Neonatorum dan persalinan bersih.
Tetanus neonatorum
menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka
kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup
diperdesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40
kasus /tahun , 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18%
kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi < 12 bulan. Angka kematian
keseluruhan antara 6,7 – 30 %. ( BAPPENAS,2010).
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1
Untuk mengetahui defenisi penyakit tetanus
1.2.2
Untuk mengetahui epidemiologi penyakit tetanus
1.2.3
Untuk mengetahui hubungan penjamu, bibit penyakit dan
lingkungan penyakit tetanus
1.2.4
Untuk mengetahui perjalanan penyakit tetanus
1.2.5
Untuk mengetahui pencegahan penyakit tetanus
BAB II
ISI
2.1 Definisi Penyakit Tetanus
Tetanus
adalah penyakit menular disebabkan oleh kontaminasi luka dari bakteri yang
hidup di tanah. Bakteri Clostridium tetani adalah organisme penyebab penyakit tetanus yang mampu
hidup bertahun-tahun di tanah dalam bentuk spora. Bakteri ini pertama kali
diisolasi pada tahun 1899 oleh S. Kitasato ketika ia sedang bekerja dengan R.
Koch di Jerman. Kitasato juga menemukan toksin tetanus dan bertanggung jawab
untuk mengembangkan vaksin pelindung pertama melawan penyakit tetanus.
Tetanus terjadi ketika luka menjadi terkontaminasi
dengan spora bakteri. Infeksi akan berlangsung ketika spora menjadi aktif dan
berkembang menjadi bakteri gram positif yang berkembang biak dan menghasilkan
toksin yang sangat kuat (racun) kemudian mempengaruhi otot. Spora tetanus
ditemukan di seluruh lingkungan, biasanya di tanah, debu, dan kotoran hewan.
Lokasi yang biasa bagi bakteri untuk masuk ke tubuh oleh luka tusuk, seperti
yang disebabkan oleh paku berkarat, pecahan, atau gigitan serangga.
Tetanus membuat kejang otot tidak terkendali,
kadang-kadang disebut kejang mulut. Dalam kasus yang berat, otot-otot yang
digunakan untuk bernapas bisa kejang, menyebabkan kekurangan oksigen ke otak
dan organ lain yang mungkin bisa mengakibatkan kematian.
Penyakit pada manusia adalah hasil dari infeksi luka
dengan spora bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini menghasilkan toksin
tetanospasmin yang bertanggung jawab untuk menyebabkan tetanus.
Tetanospasmin mengikat saraf motorik yang mengontrol otot, memasuki akson
(filamen yang memanjang dari sel-sel saraf), dan perjalanan dalam akson sampai
mencapai tubuh saraf motorik di sumsum tulang belakang atau otak (proses
transportasi intraneuronal disebut retrograde).
Kemudian toksin bermigrasi ke dalam sinaps (ruang kecil antara sel-sel saraf
penting untuk transmisi sinyal di antara sel saraf) di mana ia mengikat ke terminal saraf presynaptic dan menghambat atau
menghentikan pelepasan neurotransmitter inhibisi tertentu (glisin dan asam
gamma-aminobutyric).
Karena saraf motorik tidak memiliki hambat sinyal
dari saraf lainnya, sinyal kimia pada saraf motorik dari otot semakin intensif,
menyebabkan otot untuk memperketat kontraksi terus-menerus atau kejang. Jika
tetanospasmin mencapai aliran darah atau pembuluh limfatik dari situs luka,
dapat disimpan di banyak terminal presynaptic berbeda sehingga efek yang sama pada
otot lain.
2.2 Triad Epidemiologi penyakit tetanus
Tetanus tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko
tinggi dengan cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah
tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah
peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium
tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat
diduga melalui :
ü
Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar
ü
Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
ü
OMP, caries gigi
ü
Pemotongan tali pusat yang tidak steril
ü
Penjahitan luka robek yang tidak steril
ü
Luka bekas suntikan narkoba.
a.
Agent
Tetanus
disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium
tetani. Clostridium tetani marupakan bakteri berbentuk batang lurus, langsing,
berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini membentuk
eksotoksin yang disebut tetanospasmin. Kuman ini terdapat di tanah terutama
tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang, seperti kotoran kuda, domba,
sapi, anjing, kucing, tikus, dan babi. Clostridium tetani termasuk
bakteri gram positif, anaerobic (tidak dapat bertahan hidup dalam kehadiran
oksigen), berspora, dan mengeluarkan eksotoksin. Costridium tetani menghasilkan
2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospamin-lah yang
dapat menyebabkan penyakit tetanus, sedangkan untuk tetanolisin belum diketahui
dengan jelas fungsinya. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin
(tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram
untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase,
tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan bahan
kimia, seperti etanol, phenol, dan formalin. Sporanya juga dapat bertahan pada
autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit, juga resisten terhadap
phenol dan agen kimia yang lainnya. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda
daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu
mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
b.
Host
Host
penyakit tetanus adalah manusia dan hewan, khususnya hewan vertebrata, seperti
kucing, anjing, dan kambing
c.
Enviroment
Tetanus merupakan penyakit infeksi yang prevalensi dan angka
kematiannya masih tinggi. Tetanus terjadi di seluruh dunia, terutama di daerah
tropis, daerah dengan cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah dan
di daerah peternakan.
Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang bisa mengakibatkan
kematian yang disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses
manusia dan binatang. Karena itulah, daerah peternakan merupakan daerah
yang rentan untuk terjadinya kasus tetanus.
Pada tahun 2001, diperkirakan 282.000 orang di seluruh dunia
meninggal karena tetanus, yang terbesar terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika
Selatan, yang merupakan daerah tropis.
2.3 Hubungan
penjamu, bibit penyakit dan lingkungan penyakit tetanus
Tetanus tersebar di seluruh dunia
dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak
kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya
luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia,
terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah.
Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas
fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia
2.4 Perjalanan
penyakit Tetanus
Tetanus tidak ditularkan dari
orang ke orang. Luka, baik besar ataupun kecil, menjadi jalan masuknya bakteri
menyebab tetanus (Clostridium tetani), sekaligus
menjadi tempat berkembang dan
menghasilkan racun. Tetanus dapat mengikuti operasi elektif, luka bakar, luka
tusuk yang dalam, luka menghancurkan, otitis media, infeksi gigi, gigitan
hewan, aborsi, dan kehamilan.
Pengguna
heroin, terutama mereka yang menggunakan jarum suntik secara subkutan dengan
kina-potong heroin, berisiko tinggi terkena tetanus. Kina digunakan untuk
mencairkan heroin dan benar-benar dapat mendukung pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.
Selama
1998-2000, cedera akut atau luka seperti tusukan, laserasi, dan lecet
menyumbang 73% dari kasus dilaporkan tetanus pada rakyat AS yang bekerja di
bidang yang mempunyai risiko untuk tertusuk, luka, dan lecet.
·
Riwayat
Alamiah
i. Masa inkubasi dan klinis
Masa inkubasi berkisar dari 2 hari sampai sebulan, dengan
sebagian besar (rata-rata) kasus terjadi dalam 14 hari. Pada neonatus, masa
inkubasi biasanya 5-14 hari. Secara umum, periode inkubasi pendek berhubungan
dengan terkontaminasi luka, penyakit lebih parah, dan prognosis yang buruk.
Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya
sekitar 8 hari. Semakin pendek masa inkubasi, semakin tinggi peluang kematian,
biasanya kurang dari 72 jam. Dalam gejala tetanus neonatorum, biasanya muncul
4-14 hari setelah kelahiran, rata-rata sekitar 7 hari.
Karakteristik/gejalan klinis tetanus:
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama,
dan menetap selama 5 -7 hari.
•
Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
•
Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
•
Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang
dari leher.
Kemudian timbul
kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot masetter.
•
Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal
rigidity )
•
Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat
.
•
Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan
•
Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap
baik.
•
Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (
pada anak ).
Tetanus
tidak bisa segera terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung
hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa
inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi
dalam tiga tahap, yaitu:
a.
Tahap
pertama
Rasa nyeri punggung dan
perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu
hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga
mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi
tetanus masih berlangsung.
b.
Tahap
kedua
Gejala awal berlanjut dengan
kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini
disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup
dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa
menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai
( Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.Selain
itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut
akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang
(Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.
Pada
tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan
sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami
tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi
yang terkatu berat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
c.
Tahap
ketiga
Daya
rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang
refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot.
Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa juga
karena adanya rangsangan dari luar, misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian
dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi
semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih
sering.
Selain
dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan
sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang
belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan juga dapat
terhenti karena kejang otot, sehingga beresiko menyebabkan kematian. Hal ini
disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai,
dan penderita tidak dapat menelan.
·
Masa
laten dan periode infeksi
Tetanus tidak
menular dari orang ke orang. Tetanus dicegah dengan vaksin penyakit yang
menular, DTP (difteri, tetanus, and pertusis), tapi tidak menular. Luka, baik
besar maupun kecil, adalah jalan bakteri Clostridium
tetani masuk ke dalam tubuh. Tetanus dapat disebabkan oleh luka bakar, luka
tusuk yang dalam, otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan
persalinan yang tidak steril.
Tetanus tidak
mempunyai periode infeksius karena tetanus tidak menular dari orang ke orang.
Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, tapi tidak
menular.
2.5 Pencegahan
Penyakit Tetanus
Seorang penderita
yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai
kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti
orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada
penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak
sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat
poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang
minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk
merangsang pembentukan kekebalan).
Vaksinasi adalah cara pencegahan
terbaik terhadap tetanus. Komite Penasehat untuk Praktik Imunisasi (ACIP)
merekomendasikan bahwa semua anak menerima serangkaian rutin dari 5 dosis
difteri dan vaksin tetanus pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. Dosis
booster difteri dan tetanus toxoid harus diberikan dimulai pada usia 11-12
tahun (minimal 5 tahun sejak dosis terakhir) dan diulangi setiap 10 tahun
sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus digunakan pada orang kurang dari tujuh
tahun, sedangkan Td diberikan kepada mereka yang berusia tujuh tahun atau
lebih. Jadwal catch-up imunisasi Td bagi mereka dimulai pada usia tujuh tahun
atau lebih terdiri dari tiga dosis. Dosis kedua biasanya diberikan 1-2 bulan
setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis kedua.
Aselular formulasi vaksin pertusis bagi remaja dan orang dewasa yang berlisensi
dan dikombinasikan dengan difteri dan tetanus-toxoid. Jadwal yang disarankan
untuk Tdap belum ditentukan, tetapi vaksin ini harus diterima dalam kondisi
yang tepat.
Untuk
pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan, selain imunisasi
ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita usia subur serta
pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk imunisasi dan teknik aseptik
dan pengendalian infeksi. Maternal
and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus
pada neonatal dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan
untuk mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah 1) pertolongan
persalinan yang aman dan bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan
merata; dan 3) penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus
Toksoid (TT) pada wanita usia subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum
optimal, pencatatan yang dimulai dari kohort
WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan cakupan
imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2
selama tahun 2003-2007 tidak mengalami perkembangan, bahkan
cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan
imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian
meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009).
Data dari
WHO menunjukkan bahwa, dari tahun ke tahun cakupan imunisasi DTP3 mengalami
kenaikan. Semakin tingginya cakupan imunisasi, baik imunisasi DTP3 maupun TT2,
menunjukkan penurunan pada terjadinya kasus tetanus, tetanus neonatorum.
Jadwal Pemberian Imunisasi:
- Bayi dan Anak Normal
Imunisasi harus dimulai pada awal masa bayi dan memerlukan empat suntikan
DTaP diberikan pada
usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 15-18 bulan. Dosis pertama diberikan pada usia 4-6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama (usia 14-16 tahun), suntikan Td, yang berisi dosis yang sama tetanus
toksoid sebagai DTP dan dosis difteri
toxoid yang dikurangi, harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun sepanjang
hidup individu dalam peristiwa yang tidak ada reaksi signifikan untuk DTP atau
Td.
2. Bayi dan Anak Normal
Usia Tujuh
Bulan yang tidak Mendapat Imunisasi di Awal
DTP harus diberikan pada kunjungan pertama dan 2 dan 4 bulan setelah injeksi pertama. Dosis
keempat harus diberikan 6-12 bulan setelah terlebih dulu injeksi pertama. Dosis pertama
diberikan antara 4 dan 6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama (14-16
tahun), suntikan Td harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun di seluruh.
Prasekolah dosis tidak diperlukan jika dosis keempat dari DTP merupakan diberikan
setelah ulang tahun keempat
3. Anak Usia Tujuh Tahun atau
Lebih yang Belum diimunisasi
Imunisasi memerlukan setidaknya tiga suntikan Td. Suntikan harus
diberikan pada kunjungan
pertama , 4-8 minggu setelah bulan pertama Td, dan 6-12 setelah Td kedua. Td
suntikan harus berulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak
ada reaksi yang signifikan untuk Td.
4. Wanita hamil yang belum Diimunisasi
Neonatal tetanus dapat dicegah dengan imunisasi aktif dari ibu hamil. Wanita hamil yang belum diimunisasi harus menerima dua dosis Td sebelum persalinan, sebaiknya selama dua
trimester terakhir, diberikan 2 bulan terpisah. Sebelum ada bukti bahwa
tetanus dan difteri toxoid yang teratogenik. Setelah melahirkan, sang ibu harus
diberi dosis ketiga Td 6 bulan setelah dosis kedua untuk melengkapi imunisasi
aktif. Td suntikan harus diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal
bahwa tidak ada
reaksi signifikan terhadap Td. Jika neonatus yang
ditanggung oleh seorang ibu yang
belum diimunisasi tanpa perawatan kebidanan, bayi harus menerima 250 unit TIG
manusia. TIG adalah solusi dari gamma globulin disiapkan dari darah vena
manusia, hyperimmunized dengan tetanus toksoid.
5. Anak di bawah Tujuh
Bulan dengan Kontraindikasi untuk Vaksinasi Pertusis
DT (untuk penggunaan pediatrik) lebih baik digunakan daripada DTaP. Anak di bawah 1 tahun menerima imunisasi DT sebanyak 4 kali. Tiga dosis pertama diberikan
dengan interval 4-8 minggu dan dosis keempat 6-12 bulan kemudian. Jika dosis vaksin pertusis menjadi kontraindikasi setelah mulai DTaP di tahun pertama kehidupan
anak, DT harus diganti dengan DTaP di jadwal yang tersisa.
6. Bayi dengan
Penyakit Neurologis
Bayi
yang memiliki atau diduga memiliki penyakit neurologis, pemberian imunisasi
DTaP atau DT ditunda sampai observasi lebih lanjut dan status neurologis
anak telah jelas. Tapi, imunisasi DTaP atau DT dilakukan selambat-lambatnya
anak berusia satu tahun.
7. Bayi Dengan Gangguan
Neurologis sementara Berkaitan dengan DTaP Vaksinasi
Bayi dan anak-anak yang mengalami kejang dalam waktu 3
hari sejak diterimanya DTaP atau ensefalopati dalam 7 hari tidak boleh menerima
vaksin pertusis, bahkan meskipun penyebab dan akibat mungkin tidak bisa dimunculkan.
8. Anak-anak dengan
Gangguan Neurologis tidak Diimunisasi dengan Lengkap
Jika kejang atau gangguan lainnya terjadi sebelum ulang tahun pertama dan penyelesaian terlebih dulu tiga dosis utama serangkaian DTaP, dosis
lebih lanjut DTaP atau DT dianjurkan sampai status bayi
telah jelas.
telah jelas.
9. Bayi dan Anak-anak dengan Kondisi
Neurologis Stabil
Bayi dan anak-anak dengan kondisi neurologis yang stabil,
termasuk kejang terkendali dengan baik, dapat divaksinasi. Terjadinya
kejang tunggal (terkait dengan DTaP) pada bayi dan anak kecil, sementara yang
memerlukan evaluasi, tidak perlu imunisasi DTaP, terutama jika kejang dapat dijelaskan
secara memuaskan. Antikonvulsan profilaksis harus dipertimbangkan ketika
memberikan DTaP ke
anak-anak tersebut.
anak-anak tersebut.
10. Anak-anak dengan Gangguan neurologis yang Terselesaikan
Imunisasi DTaP dianjurkan untuk bayi dengan masalah neurologis tertentu yang
telah jelas mereda atau telah diperbaiki, seperti neona-hypocalcemic tetani
atau hidrosefalus (berikut
penempatan shunt dan tanpa kejang).
penempatan shunt dan tanpa kejang).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus
biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin
yang merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Ciri utama dari tetanus
adalah kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran.
Seorang
penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan berikutnya,
artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk terkena tetanus bila terjadi
luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Pencegahan
terhadap tetanus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif, berupa DPT
atau DT, yang diberikan sejak anak berusia 2 bulan.
3.2 Saran
1. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
2. Masyarakat sebaiknya selalu mengikuti program imunisasi yang telah
diselenggarakan pemerintah karena itu semua demi kepentingan masyarakat itu
sendiri.
3. Pemerintah dan petugas kesehatan sebaiknya melakukan sosialisasi
atau penyuluhan tentang pentingnya imunisasi kepada masyarakat, sehingga
masyarakat dapat tahu betapa pentingnya imunisasi bagi kesehatan anak-anak
mereka.
D. gambar
pendukung
Spora tetanus bacilli dapat tinggal di tanah bertahun-tahun.
Spora dapat bertahan pada suhu 1210C.
Clostridium
tetani dapat hidup pada manusia, ternak, dan hewan lain. Clostridium
tetani juga memproduksi neurotoxin yang dapat meneyebabkan terjadinya
tetanus.
Tetanus pada hewan :
Anjing dan Kuda
DAFTAR PUSTAKA
1.
Richard
F. Edlich, dkk. Management and Prevention of Tetanus. Jurnal (Online). 2003 :
Diambil dari : http://www.plasticosfoundation.org/articles/tetanus-article.pdf
2.
Kiking
Ritarwan. Tetanus. Jurnal (Online). 2004 : Diambil dari : http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf
3.
http://www.scribd.com/doc/56778191/BAB-1-PIPIN
4.
John
C. Hariding. Clinical Signs are an Interaction of Host, Agent and the
Environment. Jurnal (Online): Diambil dari : http://www.banffpork.ca/proc/2005pdf/BO09-HardingJ.pdf
5.
Departemen
Kesehatan Masyarakat, Biro Pengendalian Penyakit Menular. Tetanus. Jurnal
(Online). 2006 : Diambil dari : http://www.mass.gov/Eeohhs2/docs/dph/disease_reporting/guide/tetanus.pdf
6.
Seema
Quasim. Management of Tetanus. Jurnal (Online). Diambil dari : http://www.frca.co.uk/documents/tetanus.pdf
7.
Slaven,
Ellen M., dkk. Infectious Diseases: Emergency Department Diagnosis and
Management. 2007. Mc Graw Hill. USA
Tetanus merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian
pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar
dari 6% hingga 60%.2 Selama 30 tahun terakhir, hanya
terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai
pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada
tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang berisiko
tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang
lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang
dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian
yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan
insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per
tahun.
Tetanus ibu dan
bayi baru lahir didunia merupakan penyebab penting dari kematian ibu dan bayi
sekitar 180.000 kehidupan di seluruh dunia setiap tahun, hampir secara ekslusif
di Negara Negara berkembang. Meskipun sudah dicegah dengan maternal
immunization, dengan vaksin, dan aseptic obstetric, tetanus ibu dan bayi tetap
sebagai masalah kesehatan masyarakat di 48 negara, terutama di Asia dan Afrika.
Kasus tetanus
neonatorum di Indonesia masih tinggi, data tahun 2007 sebesar 12,5 per 1000
kelahiran hidup sedangkan target eleminasi tetanus neonatorum yang ingin
dicapai 1 per 1000 kelahiran hidup. Beberapa
upaya telah dilakukan antara lain dengan imunisasi TT diberikan sejak bayi, DPT
3x murid Sekolah Dasar, meningkatkan cakupan imunisasi TT pada Calon Penganten
(Caten), Ibu Hamil (Bumil) dan Wanita Usia Subur (WUS), surveilans Tetanus
Neonatorum dan persalinan bersih.
Tetanus neonatorum
menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka
kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup
diperdesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40
kasus /tahun , 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18%
kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi < 12 bulan. Angka kematian
keseluruhan antara 6,7 – 30 %. ( BAPPENAS,2010).
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1
Untuk mengetahui defenisi penyakit tetanus
1.2.2
Untuk mengetahui epidemiologi penyakit tetanus
1.2.3
Untuk mengetahui hubungan penjamu, bibit penyakit dan
lingkungan penyakit tetanus
1.2.4
Untuk mengetahui perjalanan penyakit tetanus
1.2.5
Untuk mengetahui pencegahan penyakit tetanus
BAB II
ISI
2.1 Definisi Penyakit Tetanus
Tetanus
adalah penyakit menular disebabkan oleh kontaminasi luka dari bakteri yang
hidup di tanah. Bakteri Clostridium tetani adalah organisme penyebab penyakit tetanus yang mampu
hidup bertahun-tahun di tanah dalam bentuk spora. Bakteri ini pertama kali
diisolasi pada tahun 1899 oleh S. Kitasato ketika ia sedang bekerja dengan R.
Koch di Jerman. Kitasato juga menemukan toksin tetanus dan bertanggung jawab
untuk mengembangkan vaksin pelindung pertama melawan penyakit tetanus.
Tetanus terjadi ketika luka menjadi terkontaminasi
dengan spora bakteri. Infeksi akan berlangsung ketika spora menjadi aktif dan
berkembang menjadi bakteri gram positif yang berkembang biak dan menghasilkan
toksin yang sangat kuat (racun) kemudian mempengaruhi otot. Spora tetanus
ditemukan di seluruh lingkungan, biasanya di tanah, debu, dan kotoran hewan.
Lokasi yang biasa bagi bakteri untuk masuk ke tubuh oleh luka tusuk, seperti
yang disebabkan oleh paku berkarat, pecahan, atau gigitan serangga.
Tetanus membuat kejang otot tidak terkendali,
kadang-kadang disebut kejang mulut. Dalam kasus yang berat, otot-otot yang
digunakan untuk bernapas bisa kejang, menyebabkan kekurangan oksigen ke otak
dan organ lain yang mungkin bisa mengakibatkan kematian.
Penyakit pada manusia adalah hasil dari infeksi luka
dengan spora bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini menghasilkan toksin
tetanospasmin yang bertanggung jawab untuk menyebabkan tetanus.
Tetanospasmin mengikat saraf motorik yang mengontrol otot, memasuki akson
(filamen yang memanjang dari sel-sel saraf), dan perjalanan dalam akson sampai
mencapai tubuh saraf motorik di sumsum tulang belakang atau otak (proses
transportasi intraneuronal disebut retrograde).
Kemudian toksin bermigrasi ke dalam sinaps (ruang kecil antara sel-sel saraf
penting untuk transmisi sinyal di antara sel saraf) di mana ia mengikat ke terminal saraf presynaptic dan menghambat atau
menghentikan pelepasan neurotransmitter inhibisi tertentu (glisin dan asam
gamma-aminobutyric).
Karena saraf motorik tidak memiliki hambat sinyal
dari saraf lainnya, sinyal kimia pada saraf motorik dari otot semakin intensif,
menyebabkan otot untuk memperketat kontraksi terus-menerus atau kejang. Jika
tetanospasmin mencapai aliran darah atau pembuluh limfatik dari situs luka,
dapat disimpan di banyak terminal presynaptic berbeda sehingga efek yang sama pada
otot lain.
2.2 Triad Epidemiologi penyakit tetanus
Tetanus tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko
tinggi dengan cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah
tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah
peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium
tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat
diduga melalui :
ü
Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar
ü
Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
ü
OMP, caries gigi
ü
Pemotongan tali pusat yang tidak steril
ü
Penjahitan luka robek yang tidak steril
ü
Luka bekas suntikan narkoba.
a.
Agent
Tetanus
disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium
tetani. Clostridium tetani marupakan bakteri berbentuk batang lurus, langsing,
berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini membentuk
eksotoksin yang disebut tetanospasmin. Kuman ini terdapat di tanah terutama
tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang, seperti kotoran kuda, domba,
sapi, anjing, kucing, tikus, dan babi. Clostridium tetani termasuk
bakteri gram positif, anaerobic (tidak dapat bertahan hidup dalam kehadiran
oksigen), berspora, dan mengeluarkan eksotoksin. Costridium tetani menghasilkan
2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospamin-lah yang
dapat menyebabkan penyakit tetanus, sedangkan untuk tetanolisin belum diketahui
dengan jelas fungsinya. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin
(tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram
untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase,
tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan bahan
kimia, seperti etanol, phenol, dan formalin. Sporanya juga dapat bertahan pada
autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit, juga resisten terhadap
phenol dan agen kimia yang lainnya. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda
daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu
mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
b.
Host
Host
penyakit tetanus adalah manusia dan hewan, khususnya hewan vertebrata, seperti
kucing, anjing, dan kambing
c.
Enviroment
Tetanus merupakan penyakit infeksi yang prevalensi dan angka
kematiannya masih tinggi. Tetanus terjadi di seluruh dunia, terutama di daerah
tropis, daerah dengan cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah dan
di daerah peternakan.
Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang bisa mengakibatkan
kematian yang disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses
manusia dan binatang. Karena itulah, daerah peternakan merupakan daerah
yang rentan untuk terjadinya kasus tetanus.
Pada tahun 2001, diperkirakan 282.000 orang di seluruh dunia
meninggal karena tetanus, yang terbesar terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika
Selatan, yang merupakan daerah tropis.
2.3 Hubungan
penjamu, bibit penyakit dan lingkungan penyakit tetanus
Tetanus tersebar di seluruh dunia
dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak
kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya
luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia,
terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah.
Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas
fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia
2.4 Perjalanan
penyakit Tetanus
Tetanus tidak ditularkan dari
orang ke orang. Luka, baik besar ataupun kecil, menjadi jalan masuknya bakteri
menyebab tetanus (Clostridium tetani), sekaligus
menjadi tempat berkembang dan
menghasilkan racun. Tetanus dapat mengikuti operasi elektif, luka bakar, luka
tusuk yang dalam, luka menghancurkan, otitis media, infeksi gigi, gigitan
hewan, aborsi, dan kehamilan.
Pengguna
heroin, terutama mereka yang menggunakan jarum suntik secara subkutan dengan
kina-potong heroin, berisiko tinggi terkena tetanus. Kina digunakan untuk
mencairkan heroin dan benar-benar dapat mendukung pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.
Selama
1998-2000, cedera akut atau luka seperti tusukan, laserasi, dan lecet
menyumbang 73% dari kasus dilaporkan tetanus pada rakyat AS yang bekerja di
bidang yang mempunyai risiko untuk tertusuk, luka, dan lecet.
·
Riwayat
Alamiah
i. Masa inkubasi dan klinis
Masa inkubasi berkisar dari 2 hari sampai sebulan, dengan
sebagian besar (rata-rata) kasus terjadi dalam 14 hari. Pada neonatus, masa
inkubasi biasanya 5-14 hari. Secara umum, periode inkubasi pendek berhubungan
dengan terkontaminasi luka, penyakit lebih parah, dan prognosis yang buruk.
Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya
sekitar 8 hari. Semakin pendek masa inkubasi, semakin tinggi peluang kematian,
biasanya kurang dari 72 jam. Dalam gejala tetanus neonatorum, biasanya muncul
4-14 hari setelah kelahiran, rata-rata sekitar 7 hari.
Karakteristik/gejalan klinis tetanus:
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama,
dan menetap selama 5 -7 hari.
•
Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
•
Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
•
Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang
dari leher.
Kemudian timbul
kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot masetter.
•
Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal
rigidity )
•
Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat
.
•
Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan
•
Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap
baik.
•
Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (
pada anak ).
Tetanus
tidak bisa segera terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung
hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa
inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi
dalam tiga tahap, yaitu:
a.
Tahap
pertama
Rasa nyeri punggung dan
perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu
hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga
mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi
tetanus masih berlangsung.
b.
Tahap
kedua
Gejala awal berlanjut dengan
kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini
disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup
dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa
menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai
( Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.Selain
itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut
akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang
(Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.
Pada
tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan
sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami
tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi
yang terkatu berat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
c.
Tahap
ketiga
Daya
rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang
refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot.
Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa juga
karena adanya rangsangan dari luar, misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian
dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi
semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih
sering.
Selain
dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan
sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang
belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan juga dapat
terhenti karena kejang otot, sehingga beresiko menyebabkan kematian. Hal ini
disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai,
dan penderita tidak dapat menelan.
·
Masa
laten dan periode infeksi
Tetanus tidak
menular dari orang ke orang. Tetanus dicegah dengan vaksin penyakit yang
menular, DTP (difteri, tetanus, and pertusis), tapi tidak menular. Luka, baik
besar maupun kecil, adalah jalan bakteri Clostridium
tetani masuk ke dalam tubuh. Tetanus dapat disebabkan oleh luka bakar, luka
tusuk yang dalam, otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan
persalinan yang tidak steril.
Tetanus tidak
mempunyai periode infeksius karena tetanus tidak menular dari orang ke orang.
Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, tapi tidak
menular.
2.5 Pencegahan
Penyakit Tetanus
Seorang penderita
yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai
kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti
orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada
penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak
sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat
poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang
minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk
merangsang pembentukan kekebalan).
Vaksinasi adalah cara pencegahan
terbaik terhadap tetanus. Komite Penasehat untuk Praktik Imunisasi (ACIP)
merekomendasikan bahwa semua anak menerima serangkaian rutin dari 5 dosis
difteri dan vaksin tetanus pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. Dosis
booster difteri dan tetanus toxoid harus diberikan dimulai pada usia 11-12
tahun (minimal 5 tahun sejak dosis terakhir) dan diulangi setiap 10 tahun
sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus digunakan pada orang kurang dari tujuh
tahun, sedangkan Td diberikan kepada mereka yang berusia tujuh tahun atau
lebih. Jadwal catch-up imunisasi Td bagi mereka dimulai pada usia tujuh tahun
atau lebih terdiri dari tiga dosis. Dosis kedua biasanya diberikan 1-2 bulan
setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis kedua.
Aselular formulasi vaksin pertusis bagi remaja dan orang dewasa yang berlisensi
dan dikombinasikan dengan difteri dan tetanus-toxoid. Jadwal yang disarankan
untuk Tdap belum ditentukan, tetapi vaksin ini harus diterima dalam kondisi
yang tepat.
Untuk
pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan, selain imunisasi
ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita usia subur serta
pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk imunisasi dan teknik aseptik
dan pengendalian infeksi. Maternal
and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus
pada neonatal dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan
untuk mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah 1) pertolongan
persalinan yang aman dan bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan
merata; dan 3) penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus
Toksoid (TT) pada wanita usia subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum
optimal, pencatatan yang dimulai dari kohort
WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan cakupan
imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2
selama tahun 2003-2007 tidak mengalami perkembangan, bahkan
cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan
imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian
meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009).
Data dari
WHO menunjukkan bahwa, dari tahun ke tahun cakupan imunisasi DTP3 mengalami
kenaikan. Semakin tingginya cakupan imunisasi, baik imunisasi DTP3 maupun TT2,
menunjukkan penurunan pada terjadinya kasus tetanus, tetanus neonatorum.
Jadwal Pemberian Imunisasi:
- Bayi dan Anak Normal
Imunisasi harus dimulai pada awal masa bayi dan memerlukan empat suntikan
DTaP diberikan pada
usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 15-18 bulan. Dosis pertama diberikan pada usia 4-6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama (usia 14-16 tahun), suntikan Td, yang berisi dosis yang sama tetanus
toksoid sebagai DTP dan dosis difteri
toxoid yang dikurangi, harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun sepanjang
hidup individu dalam peristiwa yang tidak ada reaksi signifikan untuk DTP atau
Td.
2. Bayi dan Anak Normal
Usia Tujuh
Bulan yang tidak Mendapat Imunisasi di Awal
DTP harus diberikan pada kunjungan pertama dan 2 dan 4 bulan setelah injeksi pertama. Dosis
keempat harus diberikan 6-12 bulan setelah terlebih dulu injeksi pertama. Dosis pertama
diberikan antara 4 dan 6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama (14-16
tahun), suntikan Td harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun di seluruh.
Prasekolah dosis tidak diperlukan jika dosis keempat dari DTP merupakan diberikan
setelah ulang tahun keempat
3. Anak Usia Tujuh Tahun atau
Lebih yang Belum diimunisasi
Imunisasi memerlukan setidaknya tiga suntikan Td. Suntikan harus
diberikan pada kunjungan
pertama , 4-8 minggu setelah bulan pertama Td, dan 6-12 setelah Td kedua. Td
suntikan harus berulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak
ada reaksi yang signifikan untuk Td.
4. Wanita hamil yang belum Diimunisasi
Neonatal tetanus dapat dicegah dengan imunisasi aktif dari ibu hamil. Wanita hamil yang belum diimunisasi harus menerima dua dosis Td sebelum persalinan, sebaiknya selama dua
trimester terakhir, diberikan 2 bulan terpisah. Sebelum ada bukti bahwa
tetanus dan difteri toxoid yang teratogenik. Setelah melahirkan, sang ibu harus
diberi dosis ketiga Td 6 bulan setelah dosis kedua untuk melengkapi imunisasi
aktif. Td suntikan harus diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal
bahwa tidak ada
reaksi signifikan terhadap Td. Jika neonatus yang
ditanggung oleh seorang ibu yang
belum diimunisasi tanpa perawatan kebidanan, bayi harus menerima 250 unit TIG
manusia. TIG adalah solusi dari gamma globulin disiapkan dari darah vena
manusia, hyperimmunized dengan tetanus toksoid.
5. Anak di bawah Tujuh
Bulan dengan Kontraindikasi untuk Vaksinasi Pertusis
DT (untuk penggunaan pediatrik) lebih baik digunakan daripada DTaP. Anak di bawah 1 tahun menerima imunisasi DT sebanyak 4 kali. Tiga dosis pertama diberikan
dengan interval 4-8 minggu dan dosis keempat 6-12 bulan kemudian. Jika dosis vaksin pertusis menjadi kontraindikasi setelah mulai DTaP di tahun pertama kehidupan
anak, DT harus diganti dengan DTaP di jadwal yang tersisa.
6. Bayi dengan
Penyakit Neurologis
Bayi
yang memiliki atau diduga memiliki penyakit neurologis, pemberian imunisasi
DTaP atau DT ditunda sampai observasi lebih lanjut dan status neurologis
anak telah jelas. Tapi, imunisasi DTaP atau DT dilakukan selambat-lambatnya
anak berusia satu tahun.
7. Bayi Dengan Gangguan
Neurologis sementara Berkaitan dengan DTaP Vaksinasi
Bayi dan anak-anak yang mengalami kejang dalam waktu 3
hari sejak diterimanya DTaP atau ensefalopati dalam 7 hari tidak boleh menerima
vaksin pertusis, bahkan meskipun penyebab dan akibat mungkin tidak bisa dimunculkan.
8. Anak-anak dengan
Gangguan Neurologis tidak Diimunisasi dengan Lengkap
Jika kejang atau gangguan lainnya terjadi sebelum ulang tahun pertama dan penyelesaian terlebih dulu tiga dosis utama serangkaian DTaP, dosis
lebih lanjut DTaP atau DT dianjurkan sampai status bayi
telah jelas.
telah jelas.
9. Bayi dan Anak-anak dengan Kondisi
Neurologis Stabil
Bayi dan anak-anak dengan kondisi neurologis yang stabil,
termasuk kejang terkendali dengan baik, dapat divaksinasi. Terjadinya
kejang tunggal (terkait dengan DTaP) pada bayi dan anak kecil, sementara yang
memerlukan evaluasi, tidak perlu imunisasi DTaP, terutama jika kejang dapat dijelaskan
secara memuaskan. Antikonvulsan profilaksis harus dipertimbangkan ketika
memberikan DTaP ke
anak-anak tersebut.
anak-anak tersebut.
10. Anak-anak dengan Gangguan neurologis yang Terselesaikan
Imunisasi DTaP dianjurkan untuk bayi dengan masalah neurologis tertentu yang
telah jelas mereda atau telah diperbaiki, seperti neona-hypocalcemic tetani
atau hidrosefalus (berikut
penempatan shunt dan tanpa kejang).
penempatan shunt dan tanpa kejang).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus
biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin
yang merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Ciri utama dari tetanus
adalah kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran.
Seorang
penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan berikutnya,
artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk terkena tetanus bila terjadi
luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Pencegahan
terhadap tetanus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif, berupa DPT
atau DT, yang diberikan sejak anak berusia 2 bulan.
3.2 Saran
1. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
2. Masyarakat sebaiknya selalu mengikuti program imunisasi yang telah
diselenggarakan pemerintah karena itu semua demi kepentingan masyarakat itu
sendiri.
3. Pemerintah dan petugas kesehatan sebaiknya melakukan sosialisasi
atau penyuluhan tentang pentingnya imunisasi kepada masyarakat, sehingga
masyarakat dapat tahu betapa pentingnya imunisasi bagi kesehatan anak-anak
mereka.
D. gambar
pendukung
Spora tetanus bacilli dapat tinggal di tanah bertahun-tahun.
Spora dapat bertahan pada suhu 1210C.
Clostridium
tetani dapat hidup pada manusia, ternak, dan hewan lain. Clostridium
tetani juga memproduksi neurotoxin yang dapat meneyebabkan terjadinya
tetanus.
Tetanus pada hewan :
Anjing dan Kuda
DAFTAR PUSTAKA
1.
Richard
F. Edlich, dkk. Management and Prevention of Tetanus. Jurnal (Online). 2003 :
Diambil dari : http://www.plasticosfoundation.org/articles/tetanus-article.pdf
2.
Kiking
Ritarwan. Tetanus. Jurnal (Online). 2004 : Diambil dari : http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf
3.
http://www.scribd.com/doc/56778191/BAB-1-PIPIN
4.
John
C. Hariding. Clinical Signs are an Interaction of Host, Agent and the
Environment. Jurnal (Online): Diambil dari : http://www.banffpork.ca/proc/2005pdf/BO09-HardingJ.pdf
5.
Departemen
Kesehatan Masyarakat, Biro Pengendalian Penyakit Menular. Tetanus. Jurnal
(Online). 2006 : Diambil dari : http://www.mass.gov/Eeohhs2/docs/dph/disease_reporting/guide/tetanus.pdf
6.
Seema
Quasim. Management of Tetanus. Jurnal (Online). Diambil dari : http://www.frca.co.uk/documents/tetanus.pdf
7.
Slaven,
Ellen M., dkk. Infectious Diseases: Emergency Department Diagnosis and
Management. 2007. Mc Graw Hill. USA
Judul: Epidemiologi Tetanus
Ditulis Oleh OMG SHOP
Silahkan tinggalkan komentar dan sarannya demi kemajuan blog ini kedepan...., Terima kasih
Tidak ada komentar :
Posting Komentar