Selasa, 02 Desember 2014

Epidemiologi Tetanus


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang.
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.2 Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per tahun.
Tetanus ibu dan bayi baru lahir didunia merupakan penyebab penting dari kematian ibu dan bayi sekitar 180.000 kehidupan di seluruh dunia setiap tahun, hampir secara ekslusif di Negara Negara berkembang. Meskipun sudah dicegah dengan maternal immunization, dengan vaksin, dan aseptic obstetric, tetanus ibu dan bayi tetap sebagai masalah kesehatan masyarakat di 48 negara, terutama di Asia dan Afrika.
Kasus tetanus neonatorum di Indonesia masih tinggi, data tahun 2007 sebesar 12,5 per 1000 kelahiran hidup sedangkan target eleminasi tetanus neonatorum yang ingin dicapai 1 per 1000 kelahiran hidup. Beberapa upaya telah dilakukan antara lain dengan imunisasi TT diberikan sejak bayi, DPT 3x murid Sekolah Dasar, meningkatkan cakupan imunisasi TT pada Calon Penganten (Caten), Ibu Hamil (Bumil) dan Wanita Usia Subur (WUS), surveilans Tetanus Neonatorum dan persalinan bersih.
Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup diperdesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus /tahun , 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi < 12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7 – 30 %. ( BAPPENAS,2010).
1.2    Tujuan Penulisan
1.2.1                  Untuk mengetahui defenisi penyakit tetanus
1.2.2                  Untuk mengetahui epidemiologi penyakit tetanus
1.2.3                  Untuk mengetahui hubungan penjamu, bibit penyakit dan lingkungan penyakit tetanus
1.2.4                  Untuk mengetahui perjalanan penyakit tetanus
1.2.5                  Untuk mengetahui pencegahan penyakit tetanus

















BAB II
ISI

2.1 Definisi Penyakit Tetanus
Tetanus adalah penyakit menular disebabkan oleh kontaminasi luka dari bakteri yang hidup di tanah. Bakteri Clostridium tetani adalah organisme penyebab penyakit tetanus yang mampu hidup bertahun-tahun di tanah dalam bentuk spora. Bakteri ini pertama kali diisolasi pada tahun 1899 oleh S. Kitasato ketika ia sedang bekerja dengan R. Koch di Jerman. Kitasato juga menemukan toksin tetanus dan bertanggung jawab untuk mengembangkan vaksin pelindung pertama melawan penyakit tetanus.
Tetanus terjadi ketika luka menjadi terkontaminasi dengan spora bakteri. Infeksi akan berlangsung ketika spora menjadi aktif dan berkembang menjadi bakteri gram positif yang berkembang biak dan menghasilkan toksin yang sangat kuat (racun) kemudian mempengaruhi otot. Spora tetanus ditemukan di seluruh lingkungan, biasanya di tanah, debu, dan kotoran hewan. Lokasi yang biasa bagi bakteri untuk masuk ke tubuh oleh luka tusuk, seperti yang disebabkan oleh paku berkarat, pecahan, atau gigitan serangga.
Tetanus membuat kejang otot tidak terkendali, kadang-kadang disebut kejang mulut. Dalam kasus yang berat, otot-otot yang digunakan untuk bernapas bisa kejang, menyebabkan kekurangan oksigen ke otak dan organ lain yang mungkin bisa mengakibatkan kematian.
Penyakit pada manusia adalah hasil dari infeksi luka dengan spora bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini menghasilkan toksin tetanospasmin yang bertanggung jawab untuk menyebabkan tetanus. Tetanospasmin mengikat saraf motorik yang mengontrol otot, memasuki akson (filamen yang memanjang dari sel-sel saraf), dan perjalanan dalam akson sampai mencapai tubuh saraf motorik di sumsum tulang belakang atau otak (proses transportasi intraneuronal disebut retrograde). Kemudian toksin bermigrasi ke dalam sinaps (ruang kecil antara sel-sel saraf penting untuk transmisi sinyal di antara sel saraf) di mana ia mengikat ke terminal saraf presynaptic dan menghambat atau menghentikan pelepasan neurotransmitter inhibisi tertentu (glisin dan asam gamma-aminobutyric).
Karena saraf motorik tidak memiliki hambat sinyal dari saraf lainnya, sinyal kimia pada saraf motorik dari otot semakin intensif, menyebabkan otot untuk memperketat kontraksi terus-menerus atau kejang. Jika tetanospasmin mencapai aliran darah atau pembuluh limfatik dari situs luka, dapat disimpan di banyak terminal presynaptic berbeda sehingga efek yang sama pada otot lain.
2.2  Triad Epidemiologi penyakit tetanus
Tetanus tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui :
ü  Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar
ü  Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
ü  OMP, caries gigi
ü  Pemotongan tali pusat yang tidak steril
ü  Penjahitan luka robek yang tidak steril
ü  Luka bekas suntikan narkoba.

a.       Agent 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNA8h-s9qBJ2cv5WZocKKk99LQG-mEbYe2yzM09bldH71fbcOuSdyuk_YEryvEKNBVc-0imVDXqc9WGmQsjfcuBUi8c31pj_v9S9A_KKYlvC-yDRviVuFZ0nNaauEAMHIQYnh75CDK5IY/s320/tetanus_c_tetani.jpg
Tetanus disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani marupakan bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini membentuk eksotoksin yang disebut tetanospasmin. Kuman ini terdapat di tanah terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang, seperti kotoran kuda, domba, sapi, anjing, kucing, tikus, dan babi. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif, anaerobic (tidak dapat bertahan hidup dalam kehadiran oksigen), berspora, dan mengeluarkan eksotoksin. Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospamin-lah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus, sedangkan untuk tetanolisin belum diketahui dengan jelas fungsinya. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan bahan kimia, seperti etanol, phenol, dan formalin. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit, juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
b.         Host
Host penyakit tetanus adalah manusia dan hewan, khususnya hewan vertebrata, seperti kucing, anjing, dan kambing
c.         Enviroment
Tetanus merupakan penyakit infeksi yang prevalensi dan angka kematiannya masih tinggi. Tetanus terjadi di seluruh dunia, terutama di daerah tropis, daerah dengan cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah dan di daerah peternakan.
Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang bisa mengakibatkan kematian yang disebabkan  oleh infeksi bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses manusia dan binatang.  Karena itulah, daerah peternakan merupakan daerah yang rentan untuk terjadinya kasus tetanus.
Pada tahun 2001, diperkirakan 282.000 orang di seluruh dunia meninggal karena tetanus, yang terbesar terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, yang merupakan daerah tropis.
2.3  Hubungan penjamu, bibit penyakit dan lingkungan penyakit tetanus
              Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia
2.4  Perjalanan penyakit Tetanus
              Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Luka, baik besar ataupun kecil, menjadi jalan masuknya bakteri menyebab tetanus (Clostridium tetani), sekaligus menjadi tempat berkembang dan menghasilkan racun. Tetanus dapat mengikuti operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka menghancurkan, otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan kehamilan.
              Pengguna heroin, terutama mereka yang menggunakan jarum suntik secara subkutan dengan kina-potong heroin, berisiko tinggi terkena tetanus. Kina digunakan untuk mencairkan heroin dan benar-benar dapat mendukung pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.
              Selama 1998-2000, cedera akut atau luka seperti tusukan, laserasi, dan lecet menyumbang 73% dari kasus dilaporkan tetanus pada rakyat AS yang bekerja di bidang yang mempunyai risiko untuk tertusuk, luka, dan lecet.
·      Riwayat Alamiah
i.      Masa inkubasi dan klinis
Masa inkubasi berkisar dari 2 hari sampai sebulan, dengan sebagian besar (rata-rata) kasus terjadi dalam 14 hari. Pada neonatus, masa inkubasi biasanya 5-14 hari. Secara umum, periode inkubasi pendek berhubungan dengan terkontaminasi luka, penyakit lebih parah, dan prognosis yang buruk.
Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Semakin pendek masa inkubasi, semakin tinggi peluang kematian, biasanya kurang dari 72 jam. Dalam gejala tetanus neonatorum, biasanya muncul 4-14 hari setelah kelahiran, rata-rata sekitar 7 hari.
Karakteristik/gejalan klinis tetanus:
  Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
       Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
       Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
       Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot masetter.
       Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
       Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
       Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
       Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
       Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).

Tetanus tidak bisa segera terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu:

a.         Tahap pertama
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.
b.        Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai ( Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatu berat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
c.         Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa juga karena adanya rangsangan dari luar, misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan juga dapat terhenti karena kejang otot, sehingga beresiko menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.
·      Masa laten dan periode infeksi
Tetanus tidak menular dari orang ke orang. Tetanus dicegah dengan vaksin penyakit yang menular, DTP (difteri, tetanus, and pertusis), tapi tidak menular. Luka, baik besar maupun kecil, adalah jalan bakteri Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh. Tetanus dapat disebabkan oleh luka bakar, luka tusuk yang dalam,  otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan persalinan yang tidak steril.
Tetanus tidak mempunyai periode infeksius karena tetanus tidak menular dari orang ke orang. Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, tapi tidak menular.

2.5  Pencegahan Penyakit Tetanus
              Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).
              Vaksinasi adalah cara pencegahan terbaik terhadap tetanus. Komite Penasehat untuk Praktik Imunisasi (ACIP) merekomendasikan bahwa semua anak menerima serangkaian rutin dari 5 dosis difteri dan vaksin tetanus pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. Dosis booster difteri dan tetanus toxoid harus diberikan dimulai pada usia 11-12 tahun (minimal 5 tahun sejak dosis terakhir) dan diulangi setiap 10 tahun sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus digunakan pada orang kurang dari tujuh tahun, sedangkan Td diberikan kepada mereka yang berusia tujuh tahun atau lebih. Jadwal catch-up imunisasi Td bagi mereka dimulai pada usia tujuh tahun atau lebih terdiri dari tiga dosis. Dosis kedua biasanya diberikan 1-2 bulan setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis kedua. Aselular formulasi vaksin pertusis bagi remaja dan orang dewasa yang berlisensi dan dikombinasikan dengan difteri dan tetanus-toxoid. Jadwal yang disarankan untuk Tdap belum ditentukan, tetapi vaksin ini harus diterima dalam kondisi yang tepat.
              Untuk pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan, selain imunisasi ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita usia subur serta pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk imunisasi dan teknik aseptik dan pengendalian infeksi. Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah 1) pertolongan persalinan yang aman dan bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan merata; dan 3) penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai dari kohort WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2 selama tahun 2003-2007   tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009).
              Data dari WHO menunjukkan bahwa, dari tahun ke tahun cakupan imunisasi DTP3 mengalami kenaikan. Semakin tingginya cakupan imunisasi, baik imunisasi DTP3 maupun TT2, menunjukkan penurunan pada terjadinya kasus tetanus, tetanus neonatorum.

Jadwal Pemberian Imunisasi:
  1.  Bayi dan Anak Normal
Imunisasi harus dimulai pada awal masa bayi dan memerlukan empat suntikan DTaP diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 15-18 bulan. Dosis pertama  diberikan pada usia 4-6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama  (usia 14-16 tahun),  suntikan Td,  yang berisi dosis yang sama tetanus toksoid sebagai DTP dan dosis difteri toxoid yang dikurangi, harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup individu dalam peristiwa yang tidak ada reaksi signifikan untuk DTP atau Td.
2.      Bayi dan Anak Normal Usia Tujuh Bulan  yang tidak Mendapat Imunisasi di Awal
DTP harus diberikan pada kunjungan pertama dan 2 dan 4 bulan setelah injeksi pertama. Dosis keempat harus diberikan 6-12 bulan setelah terlebih dulu injeksi pertama. Dosis pertama diberikan antara 4 dan 6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama (14-16 tahun), suntikan Td harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun di seluruh. Prasekolah dosis tidak diperlukan jika dosis keempat dari DTP merupakan diberikan setelah ulang tahun keempat
3.      Anak Usia Tujuh Tahun atau Lebih yang Belum diimunisasi
Imunisasi memerlukan setidaknya tiga suntikan Td.  Suntikan harus diberikan pada kunjungan pertama , 4-8 minggu setelah bulan pertama  Td, dan 6-12 setelah Td kedua. Td suntikan harus berulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi yang signifikan untuk Td.
4.       Wanita hamil yang belum Diimunisasi
Neonatal tetanus dapat dicegah dengan imunisasi aktif dari ibu hamil. Wanita hamil yang belum diimunisasi harus menerima dua dosis Td sebelum persalinan, sebaiknya selama dua trimester terakhir, diberikan 2 bulan terpisah.  Sebelum ada bukti bahwa tetanus dan difteri toxoid yang teratogenik. Setelah melahirkan, sang ibu harus diberi dosis ketiga Td 6 bulan setelah dosis kedua untuk melengkapi imunisasi aktif. Td suntikan harus diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi signifikan terhadap Td.  Jika neonatus yang ditanggung oleh seorang ibu yang belum diimunisasi tanpa perawatan kebidanan, bayi harus menerima 250 unit TIG manusia. TIG adalah solusi dari gamma globulin disiapkan dari darah vena manusia, hyperimmunized dengan tetanus toksoid.   
5.      Anak di bawah Tujuh Bulan dengan Kontraindikasi untuk Vaksinasi Pertusis
DT (untuk penggunaan pediatrik) lebih baik digunakan daripada DTaP. Anak di bawah 1 tahun menerima imunisasi DT sebanyak 4 kali. Tiga dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu dan dosis keempat 6-12 bulan kemudian. Jika dosis vaksin pertusis menjadi kontraindikasi setelah mulai DTaP di tahun pertama kehidupan anak, DT harus diganti dengan DTaP di jadwal yang tersisa.
6.      Bayi dengan Penyakit Neurologis
Bayi yang memiliki atau diduga memiliki penyakit neurologis, pemberian imunisasi DTaP atau  DT ditunda sampai observasi lebih lanjut dan status neurologis anak telah jelas. Tapi, imunisasi DTaP atau DT dilakukan selambat-lambatnya anak berusia satu tahun.
7.      Bayi Dengan Gangguan Neurologis sementara Berkaitan dengan DTaP Vaksinasi
Bayi dan anak-anak yang mengalami kejang dalam waktu 3 hari sejak diterimanya DTaP atau ensefalopati dalam 7 hari tidak boleh menerima vaksin pertusis, bahkan meskipun penyebab dan akibat mungkin tidak bisa dimunculkan.
8.      Anak-anak dengan Gangguan Neurologis tidak Diimunisasi  dengan Lengkap
Jika kejang atau gangguan lainnya terjadi sebelum ulang tahun pertama dan penyelesaian terlebih dulu tiga dosis utama serangkaian DTaP, dosis lebih lanjut DTaP atau DT dianjurkan sampai status bayi
telah
jelas.
9.      Bayi dan Anak-anak dengan Kondisi Neurologis Stabil
Bayi dan anak-anak dengan kondisi neurologis yang stabil, termasuk kejang terkendali dengan baik, dapat divaksinasi.  Terjadinya kejang tunggal (terkait dengan DTaP) pada bayi dan anak kecil, sementara yang memerlukan evaluasi, tidak perlu imunisasi DTaP, terutama jika kejang dapat dijelaskan secara memuaskan. Antikonvulsan profilaksis harus dipertimbangkan ketika memberikan DTaP ke
anak-anak tersebut.
10.  Anak-anak dengan Gangguan neurologis yang Terselesaikan
Imunisasi DTaP dianjurkan untuk bayi dengan masalah neurologis tertentu yang telah jelas mereda atau telah diperbaiki, seperti neona-hypocalcemic tetani atau hidrosefalus (berikut
penempatan shunt dan tanpa kejang).

 

















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin yang merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Ciri utama dari tetanus adalah kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran.
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan berikutnya,  artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk terkena tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Pencegahan terhadap tetanus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif, berupa DPT atau DT, yang diberikan sejak anak berusia 2 bulan.
3.2  Saran
1.   Menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
2.   Masyarakat sebaiknya selalu mengikuti program imunisasi yang telah diselenggarakan pemerintah karena itu semua demi kepentingan masyarakat itu sendiri.
3.   Pemerintah dan petugas kesehatan sebaiknya melakukan sosialisasi atau penyuluhan tentang pentingnya imunisasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat tahu betapa pentingnya imunisasi bagi kesehatan anak-anak mereka.








D.   gambar pendukung
     
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEim7mvsZdcgSkHu91FS5qT9cyCxEse7yL7kNfdltRoOu39lcCRyeYvxBO4jHk06oSiaDTX7ndZYsff8jBJ552u0IfDZmbp9JXyLJ6Lhng3wEsx0X7L1io9_z5zzla8RiXVhJm0Zvm2p9aY/s320/tetanus-pathogen2.jpg
Spora tetanus bacilli dapat tinggal di tanah bertahun-tahun. Spora dapat bertahan  pada suhu 1210C.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFX3tN2VNW7a3zAF6SQ_3UYNW192Ayxe_XIS4UQzOUzL5_T4DNGn-f7AGsuWoUrycECnZWj0qylooQStM2QFmElUP8TNwxKN8s5GSz7fr0ipyE1d3dN_1sz-KtvOK0xzze0QJR3J_U-aQ/s320/clostridium-tetani.jpg

Clostridium tetani dapat hidup pada manusia, ternak,  dan hewan lain. Clostridium tetani juga memproduksi neurotoxin yang dapat meneyebabkan terjadinya tetanus. 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaCva0QLwdjO-yTVZZcAoovrtSojm_v5iM-I_WUW71o7aTcdne9P1TE8qLbwaZwsP7kM1QguQjJ2oq-07BVJwUS3Y22f8Yl70XC3k5GwTXQzQMftqfEO7uIe0er1BIWYaTbipkuxinAjE/s320/tetchild.jpg

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjerjw_KVVOXfqMbpiTBnxdbxXGyaIU0DUlAEeidoxHi9W7hukmuMtlMvUlRrfc-8ZkbJAWO0oAafygbEfhwV-fD3jww9KuD4G_FZVuYLLB75RVpcWJ4MwnG5kQ5Z0W7QrYbGhMlNVAHDI/s320/6374.jpg

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh33nLjJLdVo5-BTHIfBGmI94Ra9qEkox9y674sWlRYWtqYQxOKJmOyIgY_9uuulbTA3d2XRYpdvjHPm71bFoQ5LRkNXDBrRDGwjeXpv-2F3QsZMu5_RrxFRSxtcML5QObmb6MG1MFgdIU/s320/kr%25C4%258Di.bmp
 Tetanus pada hewan : Anjing dan Kuda

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEho6iGTkCplEsUyDPT0SqwDscIAHQ8HcY3M9mxaw7YuZbgD48EuubzmbYUUOSeXvo9DiLD8howAUKoiK2zg8v6QeBsCjxDibRJ6mGyzFiubT1sVipZLaiKMEJ_Wo7mrZfTeeV4fb5wcsVs/s1600/dog_tetanus.gif

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjm4rkdm9SLtH244LUg_D3BzQ43Uu65bsJuxttMQNFC3DL4nDGNnpCnISrWkWSZzYRM-Nn3MfszZObYeA__iAZwizggVSn4Z0bOuKZ3m6dwnywYl_32SZtNdfBjsZde3urSUmceqcAx-ow/s1600/tetanushorse.jpg
 


















DAFTAR PUSTAKA

1.      Richard F. Edlich, dkk. Management and Prevention of Tetanus. Jurnal (Online). 2003 : Diambil dari : http://www.plasticosfoundation.org/articles/tetanus-article.pdf 
2.      Kiking Ritarwan. Tetanus. Jurnal (Online). 2004 : Diambil dari : http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf
3.       http://www.scribd.com/doc/56778191/BAB-1-PIPIN 
4.      John C. Hariding. Clinical Signs are an Interaction of Host, Agent and the Environment. Jurnal (Online): Diambil dari : http://www.banffpork.ca/proc/2005pdf/BO09-HardingJ.pdf 
5.      Departemen Kesehatan Masyarakat, Biro Pengendalian Penyakit Menular. Tetanus. Jurnal (Online). 2006 : Diambil dari : http://www.mass.gov/Eeohhs2/docs/dph/disease_reporting/guide/tetanus.pdf 
6.      Seema Quasim. Management of Tetanus. Jurnal (Online). Diambil dari : http://www.frca.co.uk/documents/tetanus.pdf
7.      Slaven, Ellen M., dkk. Infectious Diseases: Emergency Department Diagnosis and Management. 2007. Mc Graw Hill. USA


enyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.2 Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per tahun.
Tetanus ibu dan bayi baru lahir didunia merupakan penyebab penting dari kematian ibu dan bayi sekitar 180.000 kehidupan di seluruh dunia setiap tahun, hampir secara ekslusif di Negara Negara berkembang. Meskipun sudah dicegah dengan maternal immunization, dengan vaksin, dan aseptic obstetric, tetanus ibu dan bayi tetap sebagai masalah kesehatan masyarakat di 48 negara, terutama di Asia dan Afrika.
Kasus tetanus neonatorum di Indonesia masih tinggi, data tahun 2007 sebesar 12,5 per 1000 kelahiran hidup sedangkan target eleminasi tetanus neonatorum yang ingin dicapai 1 per 1000 kelahiran hidup. Beberapa upaya telah dilakukan antara lain dengan imunisasi TT diberikan sejak bayi, DPT 3x murid Sekolah Dasar, meningkatkan cakupan imunisasi TT pada Calon Penganten (Caten), Ibu Hamil (Bumil) dan Wanita Usia Subur (WUS), surveilans Tetanus Neonatorum dan persalinan bersih.
Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup diperdesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus /tahun , 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi < 12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7 – 30 %. ( BAPPENAS,2010).
1.2    Tujuan Penulisan
1.2.1                  Untuk mengetahui defenisi penyakit tetanus
1.2.2                  Untuk mengetahui epidemiologi penyakit tetanus
1.2.3                  Untuk mengetahui hubungan penjamu, bibit penyakit dan lingkungan penyakit tetanus
1.2.4                  Untuk mengetahui perjalanan penyakit tetanus
1.2.5                  Untuk mengetahui pencegahan penyakit tetanus

















BAB II
ISI

2.1 Definisi Penyakit Tetanus
Tetanus adalah penyakit menular disebabkan oleh kontaminasi luka dari bakteri yang hidup di tanah. Bakteri Clostridium tetani adalah organisme penyebab penyakit tetanus yang mampu hidup bertahun-tahun di tanah dalam bentuk spora. Bakteri ini pertama kali diisolasi pada tahun 1899 oleh S. Kitasato ketika ia sedang bekerja dengan R. Koch di Jerman. Kitasato juga menemukan toksin tetanus dan bertanggung jawab untuk mengembangkan vaksin pelindung pertama melawan penyakit tetanus.
Tetanus terjadi ketika luka menjadi terkontaminasi dengan spora bakteri. Infeksi akan berlangsung ketika spora menjadi aktif dan berkembang menjadi bakteri gram positif yang berkembang biak dan menghasilkan toksin yang sangat kuat (racun) kemudian mempengaruhi otot. Spora tetanus ditemukan di seluruh lingkungan, biasanya di tanah, debu, dan kotoran hewan. Lokasi yang biasa bagi bakteri untuk masuk ke tubuh oleh luka tusuk, seperti yang disebabkan oleh paku berkarat, pecahan, atau gigitan serangga.
Tetanus membuat kejang otot tidak terkendali, kadang-kadang disebut kejang mulut. Dalam kasus yang berat, otot-otot yang digunakan untuk bernapas bisa kejang, menyebabkan kekurangan oksigen ke otak dan organ lain yang mungkin bisa mengakibatkan kematian.
Penyakit pada manusia adalah hasil dari infeksi luka dengan spora bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini menghasilkan toksin tetanospasmin yang bertanggung jawab untuk menyebabkan tetanus. Tetanospasmin mengikat saraf motorik yang mengontrol otot, memasuki akson (filamen yang memanjang dari sel-sel saraf), dan perjalanan dalam akson sampai mencapai tubuh saraf motorik di sumsum tulang belakang atau otak (proses transportasi intraneuronal disebut retrograde). Kemudian toksin bermigrasi ke dalam sinaps (ruang kecil antara sel-sel saraf penting untuk transmisi sinyal di antara sel saraf) di mana ia mengikat ke terminal saraf presynaptic dan menghambat atau menghentikan pelepasan neurotransmitter inhibisi tertentu (glisin dan asam gamma-aminobutyric).
Karena saraf motorik tidak memiliki hambat sinyal dari saraf lainnya, sinyal kimia pada saraf motorik dari otot semakin intensif, menyebabkan otot untuk memperketat kontraksi terus-menerus atau kejang. Jika tetanospasmin mencapai aliran darah atau pembuluh limfatik dari situs luka, dapat disimpan di banyak terminal presynaptic berbeda sehingga efek yang sama pada otot lain.
2.2  Triad Epidemiologi penyakit tetanus
Tetanus tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui :
ü  Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar
ü  Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
ü  OMP, caries gigi
ü  Pemotongan tali pusat yang tidak steril
ü  Penjahitan luka robek yang tidak steril
ü  Luka bekas suntikan narkoba.

a.       Agent 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNA8h-s9qBJ2cv5WZocKKk99LQG-mEbYe2yzM09bldH71fbcOuSdyuk_YEryvEKNBVc-0imVDXqc9WGmQsjfcuBUi8c31pj_v9S9A_KKYlvC-yDRviVuFZ0nNaauEAMHIQYnh75CDK5IY/s320/tetanus_c_tetani.jpg
Tetanus disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani marupakan bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini membentuk eksotoksin yang disebut tetanospasmin. Kuman ini terdapat di tanah terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang, seperti kotoran kuda, domba, sapi, anjing, kucing, tikus, dan babi. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif, anaerobic (tidak dapat bertahan hidup dalam kehadiran oksigen), berspora, dan mengeluarkan eksotoksin. Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospamin-lah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus, sedangkan untuk tetanolisin belum diketahui dengan jelas fungsinya. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan bahan kimia, seperti etanol, phenol, dan formalin. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit, juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
b.         Host
Host penyakit tetanus adalah manusia dan hewan, khususnya hewan vertebrata, seperti kucing, anjing, dan kambing
c.         Enviroment
Tetanus merupakan penyakit infeksi yang prevalensi dan angka kematiannya masih tinggi. Tetanus terjadi di seluruh dunia, terutama di daerah tropis, daerah dengan cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah dan di daerah peternakan.
Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang bisa mengakibatkan kematian yang disebabkan  oleh infeksi bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses manusia dan binatang.  Karena itulah, daerah peternakan merupakan daerah yang rentan untuk terjadinya kasus tetanus.
Pada tahun 2001, diperkirakan 282.000 orang di seluruh dunia meninggal karena tetanus, yang terbesar terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, yang merupakan daerah tropis.
2.3  Hubungan penjamu, bibit penyakit dan lingkungan penyakit tetanus
              Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia
2.4  Perjalanan penyakit Tetanus
              Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Luka, baik besar ataupun kecil, menjadi jalan masuknya bakteri menyebab tetanus (Clostridium tetani), sekaligus menjadi tempat berkembang dan menghasilkan racun. Tetanus dapat mengikuti operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka menghancurkan, otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan kehamilan.
              Pengguna heroin, terutama mereka yang menggunakan jarum suntik secara subkutan dengan kina-potong heroin, berisiko tinggi terkena tetanus. Kina digunakan untuk mencairkan heroin dan benar-benar dapat mendukung pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.
              Selama 1998-2000, cedera akut atau luka seperti tusukan, laserasi, dan lecet menyumbang 73% dari kasus dilaporkan tetanus pada rakyat AS yang bekerja di bidang yang mempunyai risiko untuk tertusuk, luka, dan lecet.
·      Riwayat Alamiah
i.      Masa inkubasi dan klinis
Masa inkubasi berkisar dari 2 hari sampai sebulan, dengan sebagian besar (rata-rata) kasus terjadi dalam 14 hari. Pada neonatus, masa inkubasi biasanya 5-14 hari. Secara umum, periode inkubasi pendek berhubungan dengan terkontaminasi luka, penyakit lebih parah, dan prognosis yang buruk.
Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Semakin pendek masa inkubasi, semakin tinggi peluang kematian, biasanya kurang dari 72 jam. Dalam gejala tetanus neonatorum, biasanya muncul 4-14 hari setelah kelahiran, rata-rata sekitar 7 hari.
Karakteristik/gejalan klinis tetanus:
  Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
       Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
       Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
       Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot masetter.
       Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
       Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
       Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
       Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
       Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).

Tetanus tidak bisa segera terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu:

a.         Tahap pertama
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.
b.        Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai ( Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatu berat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
c.         Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa juga karena adanya rangsangan dari luar, misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan juga dapat terhenti karena kejang otot, sehingga beresiko menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.
·      Masa laten dan periode infeksi
Tetanus tidak menular dari orang ke orang. Tetanus dicegah dengan vaksin penyakit yang menular, DTP (difteri, tetanus, and pertusis), tapi tidak menular. Luka, baik besar maupun kecil, adalah jalan bakteri Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh. Tetanus dapat disebabkan oleh luka bakar, luka tusuk yang dalam,  otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan persalinan yang tidak steril.
Tetanus tidak mempunyai periode infeksius karena tetanus tidak menular dari orang ke orang. Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, tapi tidak menular.

2.5  Pencegahan Penyakit Tetanus
              Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).
              Vaksinasi adalah cara pencegahan terbaik terhadap tetanus. Komite Penasehat untuk Praktik Imunisasi (ACIP) merekomendasikan bahwa semua anak menerima serangkaian rutin dari 5 dosis difteri dan vaksin tetanus pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. Dosis booster difteri dan tetanus toxoid harus diberikan dimulai pada usia 11-12 tahun (minimal 5 tahun sejak dosis terakhir) dan diulangi setiap 10 tahun sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus digunakan pada orang kurang dari tujuh tahun, sedangkan Td diberikan kepada mereka yang berusia tujuh tahun atau lebih. Jadwal catch-up imunisasi Td bagi mereka dimulai pada usia tujuh tahun atau lebih terdiri dari tiga dosis. Dosis kedua biasanya diberikan 1-2 bulan setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah dosis kedua. Aselular formulasi vaksin pertusis bagi remaja dan orang dewasa yang berlisensi dan dikombinasikan dengan difteri dan tetanus-toxoid. Jadwal yang disarankan untuk Tdap belum ditentukan, tetapi vaksin ini harus diterima dalam kondisi yang tepat.
              Untuk pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan, selain imunisasi ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita usia subur serta pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk imunisasi dan teknik aseptik dan pengendalian infeksi. Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah 1) pertolongan persalinan yang aman dan bersih; 2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan merata; dan 3) penyelenggaraan surveilans. Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai dari kohort WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan imunisasi TT2 selama tahun 2003-2007   tidak mengalami perkembangan, bahkan cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008, kemudian meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009).
              Data dari WHO menunjukkan bahwa, dari tahun ke tahun cakupan imunisasi DTP3 mengalami kenaikan. Semakin tingginya cakupan imunisasi, baik imunisasi DTP3 maupun TT2, menunjukkan penurunan pada terjadinya kasus tetanus, tetanus neonatorum.

Jadwal Pemberian Imunisasi:
  1.  Bayi dan Anak Normal
Imunisasi harus dimulai pada awal masa bayi dan memerlukan empat suntikan DTaP diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan 15-18 bulan. Dosis pertama  diberikan pada usia 4-6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama  (usia 14-16 tahun),  suntikan Td,  yang berisi dosis yang sama tetanus toksoid sebagai DTP dan dosis difteri toxoid yang dikurangi, harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup individu dalam peristiwa yang tidak ada reaksi signifikan untuk DTP atau Td.
2.      Bayi dan Anak Normal Usia Tujuh Bulan  yang tidak Mendapat Imunisasi di Awal
DTP harus diberikan pada kunjungan pertama dan 2 dan 4 bulan setelah injeksi pertama. Dosis keempat harus diberikan 6-12 bulan setelah terlebih dulu injeksi pertama. Dosis pertama diberikan antara 4 dan 6 tahun. Sepuluh tahun setelah dosis pertama (14-16 tahun), suntikan Td harus diberikan dan diulang setiap 10 tahun di seluruh. Prasekolah dosis tidak diperlukan jika dosis keempat dari DTP merupakan diberikan setelah ulang tahun keempat
3.      Anak Usia Tujuh Tahun atau Lebih yang Belum diimunisasi
Imunisasi memerlukan setidaknya tiga suntikan Td.  Suntikan harus diberikan pada kunjungan pertama , 4-8 minggu setelah bulan pertama  Td, dan 6-12 setelah Td kedua. Td suntikan harus berulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi yang signifikan untuk Td.
4.       Wanita hamil yang belum Diimunisasi
Neonatal tetanus dapat dicegah dengan imunisasi aktif dari ibu hamil. Wanita hamil yang belum diimunisasi harus menerima dua dosis Td sebelum persalinan, sebaiknya selama dua trimester terakhir, diberikan 2 bulan terpisah.  Sebelum ada bukti bahwa tetanus dan difteri toxoid yang teratogenik. Setelah melahirkan, sang ibu harus diberi dosis ketiga Td 6 bulan setelah dosis kedua untuk melengkapi imunisasi aktif. Td suntikan harus diulang setiap 10 tahun sepanjang hidup dalam hal bahwa tidak ada reaksi signifikan terhadap Td.  Jika neonatus yang ditanggung oleh seorang ibu yang belum diimunisasi tanpa perawatan kebidanan, bayi harus menerima 250 unit TIG manusia. TIG adalah solusi dari gamma globulin disiapkan dari darah vena manusia, hyperimmunized dengan tetanus toksoid.   
5.      Anak di bawah Tujuh Bulan dengan Kontraindikasi untuk Vaksinasi Pertusis
DT (untuk penggunaan pediatrik) lebih baik digunakan daripada DTaP. Anak di bawah 1 tahun menerima imunisasi DT sebanyak 4 kali. Tiga dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu dan dosis keempat 6-12 bulan kemudian. Jika dosis vaksin pertusis menjadi kontraindikasi setelah mulai DTaP di tahun pertama kehidupan anak, DT harus diganti dengan DTaP di jadwal yang tersisa.
6.      Bayi dengan Penyakit Neurologis
Bayi yang memiliki atau diduga memiliki penyakit neurologis, pemberian imunisasi DTaP atau  DT ditunda sampai observasi lebih lanjut dan status neurologis anak telah jelas. Tapi, imunisasi DTaP atau DT dilakukan selambat-lambatnya anak berusia satu tahun.
7.      Bayi Dengan Gangguan Neurologis sementara Berkaitan dengan DTaP Vaksinasi
Bayi dan anak-anak yang mengalami kejang dalam waktu 3 hari sejak diterimanya DTaP atau ensefalopati dalam 7 hari tidak boleh menerima vaksin pertusis, bahkan meskipun penyebab dan akibat mungkin tidak bisa dimunculkan.
8.      Anak-anak dengan Gangguan Neurologis tidak Diimunisasi  dengan Lengkap
Jika kejang atau gangguan lainnya terjadi sebelum ulang tahun pertama dan penyelesaian terlebih dulu tiga dosis utama serangkaian DTaP, dosis lebih lanjut DTaP atau DT dianjurkan sampai status bayi
telah
jelas.
9.      Bayi dan Anak-anak dengan Kondisi Neurologis Stabil
Bayi dan anak-anak dengan kondisi neurologis yang stabil, termasuk kejang terkendali dengan baik, dapat divaksinasi.  Terjadinya kejang tunggal (terkait dengan DTaP) pada bayi dan anak kecil, sementara yang memerlukan evaluasi, tidak perlu imunisasi DTaP, terutama jika kejang dapat dijelaskan secara memuaskan. Antikonvulsan profilaksis harus dipertimbangkan ketika memberikan DTaP ke
anak-anak tersebut.
10.  Anak-anak dengan Gangguan neurologis yang Terselesaikan
Imunisasi DTaP dianjurkan untuk bayi dengan masalah neurologis tertentu yang telah jelas mereda atau telah diperbaiki, seperti neona-hypocalcemic tetani atau hidrosefalus (berikut
penempatan shunt dan tanpa kejang).

 

















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin yang merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Ciri utama dari tetanus adalah kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran.
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan berikutnya,  artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk terkena tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Pencegahan terhadap tetanus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif, berupa DPT atau DT, yang diberikan sejak anak berusia 2 bulan.
3.2  Saran
1.   Menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
2.   Masyarakat sebaiknya selalu mengikuti program imunisasi yang telah diselenggarakan pemerintah karena itu semua demi kepentingan masyarakat itu sendiri.
3.   Pemerintah dan petugas kesehatan sebaiknya melakukan sosialisasi atau penyuluhan tentang pentingnya imunisasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat tahu betapa pentingnya imunisasi bagi kesehatan anak-anak mereka.








D.   gambar pendukung
     
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEim7mvsZdcgSkHu91FS5qT9cyCxEse7yL7kNfdltRoOu39lcCRyeYvxBO4jHk06oSiaDTX7ndZYsff8jBJ552u0IfDZmbp9JXyLJ6Lhng3wEsx0X7L1io9_z5zzla8RiXVhJm0Zvm2p9aY/s320/tetanus-pathogen2.jpg
Spora tetanus bacilli dapat tinggal di tanah bertahun-tahun. Spora dapat bertahan  pada suhu 1210C.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFX3tN2VNW7a3zAF6SQ_3UYNW192Ayxe_XIS4UQzOUzL5_T4DNGn-f7AGsuWoUrycECnZWj0qylooQStM2QFmElUP8TNwxKN8s5GSz7fr0ipyE1d3dN_1sz-KtvOK0xzze0QJR3J_U-aQ/s320/clostridium-tetani.jpg

Clostridium tetani dapat hidup pada manusia, ternak,  dan hewan lain. Clostridium tetani juga memproduksi neurotoxin yang dapat meneyebabkan terjadinya tetanus. 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaCva0QLwdjO-yTVZZcAoovrtSojm_v5iM-I_WUW71o7aTcdne9P1TE8qLbwaZwsP7kM1QguQjJ2oq-07BVJwUS3Y22f8Yl70XC3k5GwTXQzQMftqfEO7uIe0er1BIWYaTbipkuxinAjE/s320/tetchild.jpg

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjerjw_KVVOXfqMbpiTBnxdbxXGyaIU0DUlAEeidoxHi9W7hukmuMtlMvUlRrfc-8ZkbJAWO0oAafygbEfhwV-fD3jww9KuD4G_FZVuYLLB75RVpcWJ4MwnG5kQ5Z0W7QrYbGhMlNVAHDI/s320/6374.jpg

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh33nLjJLdVo5-BTHIfBGmI94Ra9qEkox9y674sWlRYWtqYQxOKJmOyIgY_9uuulbTA3d2XRYpdvjHPm71bFoQ5LRkNXDBrRDGwjeXpv-2F3QsZMu5_RrxFRSxtcML5QObmb6MG1MFgdIU/s320/kr%25C4%258Di.bmp
 Tetanus pada hewan : Anjing dan Kuda

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEho6iGTkCplEsUyDPT0SqwDscIAHQ8HcY3M9mxaw7YuZbgD48EuubzmbYUUOSeXvo9DiLD8howAUKoiK2zg8v6QeBsCjxDibRJ6mGyzFiubT1sVipZLaiKMEJ_Wo7mrZfTeeV4fb5wcsVs/s1600/dog_tetanus.gif

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjm4rkdm9SLtH244LUg_D3BzQ43Uu65bsJuxttMQNFC3DL4nDGNnpCnISrWkWSZzYRM-Nn3MfszZObYeA__iAZwizggVSn4Z0bOuKZ3m6dwnywYl_32SZtNdfBjsZde3urSUmceqcAx-ow/s1600/tetanushorse.jpg
 


















DAFTAR PUSTAKA

1.      Richard F. Edlich, dkk. Management and Prevention of Tetanus. Jurnal (Online). 2003 : Diambil dari : http://www.plasticosfoundation.org/articles/tetanus-article.pdf 
2.      Kiking Ritarwan. Tetanus. Jurnal (Online). 2004 : Diambil dari : http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf
3.       http://www.scribd.com/doc/56778191/BAB-1-PIPIN 
4.      John C. Hariding. Clinical Signs are an Interaction of Host, Agent and the Environment. Jurnal (Online): Diambil dari : http://www.banffpork.ca/proc/2005pdf/BO09-HardingJ.pdf 
5.      Departemen Kesehatan Masyarakat, Biro Pengendalian Penyakit Menular. Tetanus. Jurnal (Online). 2006 : Diambil dari : http://www.mass.gov/Eeohhs2/docs/dph/disease_reporting/guide/tetanus.pdf 
6.      Seema Quasim. Management of Tetanus. Jurnal (Online). Diambil dari : http://www.frca.co.uk/documents/tetanus.pdf
7.      Slaven, Ellen M., dkk. Infectious Diseases: Emergency Department Diagnosis and Management. 2007. Mc Graw Hill. USA


Terima Kasih Anda Telah Membaca Tulisan Ini
Judul: Epidemiologi Tetanus
Ditulis Oleh OMG SHOP
Silahkan tinggalkan komentar dan sarannya demi kemajuan blog ini kedepan...., Terima kasih

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Scary Pumpkin 3