BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam GBHN, dinyatakan bahwa pola dasar
pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah Pembangunan Manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia. Jadi jelas bahwa hubungan
antara usaha peningkatan kesehatan masyarakat dengan pembangunan, karena tanpa
modal kesehatan niscaya akan gagal pula pembangunan kita.
Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama
adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut
saluran pernapasan bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian
bawah. ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik
dinegara berkembang maupun dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak dari
mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat.
Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula
memberi kecacatan sampai pada masa dewasa. Dimana ditemukan adanya hubungan
dengan terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak, karena
sistem pertahanan tubuh anak masih rendah. Kejadian penyakit batuk-pilek pada
balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali per tahun, yang berarti
seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk-pilek sebanyak 3 sampai 6 kali
setahun.
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena
menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4
kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA
setiap tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan diPuskesmas adalah oleh penyakit
ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % -30 %.
Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur
kurang dari 2 bulan.
Berdasarkan hasil survei kematian balita
tahun 2005 diketahui 23,6% balita meninggal karena pneumonia sedangkan menurut
SDKI 1991-2003 dan survei morbiditas ISPA 2004 angka kesakitan pneumoni balita
mencapai 5,12%. (Depkes, 2007)
Hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang
berat masih sangat tinggi. Kematian seringkali disebabkan karena penderita
datang untuk berobat dalam keadaan berat dan sering disertai penyulit-penyulit
dan kurang gizi. Data morbiditas penyakit pneumonia di Indonesia per tahun
berkisar antara 10 -20 % dari populasi balita. Hal ini didukung oleh data
penelitian dilapangan (Kecamatan Kediri, NTB adalah 17,8 % ; Kabupaten
Indramayu adalah 9,8 %). Bila kita mengambil angka morbiditas 10 % pertahun,
ini berarti setiap tahun jumlah penderita pneumonia balita di Indonesia
berkisar 2,3 juta. Penderita yang dilaporkan baik dari rumah sakit maupun dari
Puskesmas pada tahun 1991 hanya berjumlah 98.271. Diperkirakan bahwa separuh
dari penderita pneumonia didapat pada kelompok umur 0-6 bulan.
Selain itu, salah satu penyakit infeksi
saluran pernapasan akut yang juga perlu mendapat perhatian saat ini adalah
influenza disebabkan karena influenza adalah penyakit yang dapat menimbulkan
wabah sesuai dengan Permenkes No.560/Menkes/Per/VIII/1989 tentang Jenis
Penyakit Tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah, Tata Cara Penyampaian Laporan
dan Tata Cara Penanggulangan Seperlunya.(Depkes, 2009)
ISPA sebagai penyakit menular tidak
mengenal batas wilayah, bisa menular dari satu orang ke orang lain, dan dapat
menyebar dalam keluarga, kelompok masyarakat, negara bahkan antar negara. Maka
perlu dilakukan penanggulangan dan pencegahan dari penyakit ISPA.
Berdasarkan hal tersebut, maka makalah ini
akan menjelaskan tentang Program Penanggulangan Penyakit ISPA dimana dalam
pelaksanaannya diperlukan komitmen bersama pemerintah atau pihak swasta dan
masyarakat.
1.2
Tujuan
penulisan
1.2.1
Tujuan Umum
Mengetahui tentang program penanggulangan penyakit ISPA
1.2.2
Tujuan Khusus
a. Diketahuinya
batasan dan definisi penyakit ISPA
b. Diketahuinya
kebijakan Ruang Lingkup Program Pengendalian Penyakit ISPA
c. Diketahuinya
etiologi penyakit ISPA
d. Diketahuinya
faktor risiko Pneumonia
e. Diketahuinya
faktor yang mempengaruhi ISPA
f. Diketahuinya
hubungan antara pejamu, bibit penyakit dan lingkungan
g. Diketahuinya
cara penularan penyakit ISPA
h. Diketahuinya
gejala penyakit ISPA
i.
Diketahuinya penatalaksanaan P2 ISPA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Penyakit ISPA
ISPA sering disalah artikan
sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Yang benar adalah ISPA merupakan
singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut yang meliputi saluran pernapasan
bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Yang dimaksud dengan saluran
pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru (alveoli),
beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan
selaput paru. Sedangkan yang dimaksud dengan akut adalah kejadian baru yang
berlangsung < 14 hari.
ISPA merupakan infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian/lebih organ dari saluran pernapasan mulai dari
hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telingan tengah,
plura). Bedanya dengan pneumonia adalah pneumonia merupakan infeksi akut yang
mengenai jaringan paru-paru (alveoli).
Sebagian besar dari infeksi
saluran pernapasan yang terjadi hanya bersifat ringan seperti batuk, pilek,
kesukaran bernafas, sakit tenggorokan, sakit telinga dan demam dan tidak
memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Namun demikian, petugas kesehatan
perlu mengenal gejala yang lebih serius dengan batuk atau sukar bernapas yang
membutuhkan pengobatan antibiotik, yaitu pneumonia (infeksi paru) yang ditandai
dengan nafas cepat dan mungkin juga tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
yang jika tidak di obati dengan antibiotik bisa menyebabkan kematian.
Sedangkan influenza adalah
infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan, disebabkan oleh virus influenza
dengan gejala demam ≥ 380C disertai salah satu atau lebih gejala batuk, nyeri tenggorokan,
nyeri otot, pilek dan kadang diare.
ISPA
yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama
apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang
tidak hygiene. Risiko terutama
terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban
immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan cacing,
serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotik.
2.2 Ruang
Lingkup Pengendalian Penyakit (P2) ISPA
Program
Pengendalian Penyakit ISPA (P2 ISPA) di Indonesia mulai pada tahun 1984, bersamaan
dengan dimulainya P2 ISPA di tingkat global oleh WHO. Dalam perjalanannya P2
ISPA telah mengalami beberapa perkembangan, sebagai berikut, (Depkes, 2009) :
a. Lokakarya ISPA Nasional, yaitu tahun 1984 dengan hasil lokakarya
berupa pengembangan sistem dan mengklasifikasikan penyakit ISPA menjadi ISPA
ringan, sedang dan berat.
b. Lokakarya II tahun 1988 dengan hasil lokakarya disosialisasikan
pola baru tatalaksana kasus ISPA dengan mengklasifikasikan gejala penyakit
secara praktis dan sederhana dengan teknologi tepat guna, serta pemisahan
tatalaksana pneuminia dan tatalaksana penderita penyakit infeksi akut telinga
dan tenggorokan.
c. Lokakarya Nasional III tahun 1990 di Cimacan telah menyepakati
untuk menerapkan pola baru tatalaksana kasus ISPA dengan melakukan adaptasi
sesuai situasi dan kondisi setempat, dengan menitikberatkan kegiatan
penanggulanganya pada Pneumonia Balita.
d. Pada tahun 1997 WHO mempublikasikan tatalaksana penderita Balita
dengan pendekatan Integrated Management
of Childhood Illness (IMCI) atau Metode Terpadu Balita Sakit (MTBS), yang
menrupan model tatalaksanan kasus terpadu untuk berbagai penyakit anak, yaitu :
Pneumonia, Diare, Malaria, Campak, Gizi Kurang dan Kecacingan.
Berdasarkan PP RI
No.65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) menyatakan bahwa setiap kabupaten/kota wajib menyelenggarakan
pelayanan kesehatan sesuai SPM yang telah ditetapkan, salah satunya adalah
pencegahan dan pengendalian penyakit ISPA.
Dalam pelaksanaan
P2 ISPA berdasarkan pada buku pedoman tatalaksana P2 ISPA tahun 2009, ruang
lingkup P2 ISPA meliputi :
a.
Pengendalian
Pneumonia Balita
b. Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza yaitu
penanggulangan apisenter pandemi influenza, penanggulangan epodemi/wabah
danpenanggulangan pandemi influenza
c.
Pengembangan
program P2 ISPA yaitu di arahkan pada pengendalian ISPA diatas umur 5 tahun,
ISPA akibat polusi udara sesuai dengan perkembangan dan kemampuan program
2.3
Etiologi ISPA
Etiologi ISPA
terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebabnya
antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus, Hemofilus,
Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain
golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma,
Herpesvirus dan lain-lain.
Etologi Pneumonia pada balita
dapat ditetapkan dari biakan aspirat paru dan darah, dimana punksi paru ini
merupakan prosedur yang beresiko dan bertentangan dengan etika jika hanya
dimaksudkan untuk penelitian.
Menurut Ostapchuk, 2004, faktor umur dapat mengarahkan
kemungkinan penyebab atau etiologi penyakit ISPA (Depkes, 2009) :
a. Group B Strepptococcus dan gram
nefatif enterik merupakan penyebab yang paling umum pada neonatal (bayi 0-28
hari)
b. Pneumonia pada bayi berumur 3 minggu
– 3 bulan paling sering disebabkan oleh bakteri Strepptococcus Pneumoniae
c. Balita usia 4 bulan – 5 tahun,
paling banyak disebabkan oleh virus respiratory
syncytial virus
d. Pada usia 5 tahun sampai dewasa pada
umumnya disebabkan oleh bakteri pneumonia (strepptococcus
pneumoniae)
Sedangkan menurut WHO, penelitian di
negara berkembang menunjukkan bahwa Strepptococcus
Pneumoniae dan Haemofilus Influenzae
merupakan bakteri yang selalu ditemukan dari hasil isolasi aspirat paru dan
darah. Di Indonesia, penelitian di Pulau Lombok 1997-2003 usap tenggorok pada
anak usia < 2 tahun yang menderita pneumonia ditemukan Strepptococcus Pneumoniae (48%) dan Haemofilus Influenzae (8%).
2.4 Faktor Risiko Pneumonia
Faktor risiko yang dapat
meningkatkan insiden Pneumonia meliputi (Depkes, 2009) :
a. Faktor
risiko pasti (definite), misalnya : malnutrisi, BBLR, tidak ASI Ekslusif, tidak
dapat imunisasi campak, polusi udara dalam rumah dan kepadatan
b. Faktor
risiko hampir pasti (likely), mislnya : asap rokok, defisiensi Zinc, kemampuan
ibu merawat, penyakit penyerta (diare dan asma)
c. Kemungkinan
faktor risiko (Possible), misalnya pendidikan ibu, kelembaban, udara dingin,
defisiensi vitamin A, polusi udara luar, urutan kelahiran dalam keluarga,
kemiskinan
Sedangkan
faktor risiko yang meningkatkan angka kematian pneumonia merupakan gabungan
dari faktor risiko insiden diatas ditambah dengan faktor tatalaksana di
pelayanan kesehatan, yaitu :
a.
Ketersediaan pedoman tatalaksana
b.
Ketersediaan tenaga kesehatan
terlatih yang memadai
c.
Kepatuhan tenaga kesehatan
terhadap pedoman
d.
Ketersediaan fasilitas yang
diperlukan untuk tatalaksana Pneumonia (obat, oksigen, perawatan intensif)
e.
Prasarana dan sistem rujukan
2.5
Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA
2.5.1
Agent (bibit penyakit)
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru.
Kejadiannya bisa secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis
simpleks, faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang
lebih dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit
virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus Myxovirus,
Coxsackie, dan Echo.
2.5.2
Host (Pejamu/Manusia)
a. Faktor Umur
Berdasarkan hasil penelitian Daulay
(1999) di Medan, anak berusia dibawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat ISPA
1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini
terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen
saluran nafasnya masih sempit.
b.
Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita
(1993), menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun
lama ISPA pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
c.
Status Gizi
Di banyak negara di dunia, penyakit
infeksi masih merupakan penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia
5 tahun. Akan tetapi anak-anak yang meninggal karena penyakit infeksi itu
biasanya didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya daya
tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya
bibit penyakit dalam tubuh.
d.
Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
ditetapkan sebagai suatu berat lahir <2.500 gram. Menurut Tuminah (1999),
bayi dengan BBLR mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan
berat ≥2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah
penyebab kematian terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir.
e.
Status ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam
proses tumbuh kembang bayi kaya akan faktor antibodi untuk melawan
infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari)
payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin,
Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat
penting untuk melindungi bayi dari infeksi.
f.
Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk
melindungi seseorang terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan
terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada
pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam
pemeliharaan kesehatan anak.
2.5.3
Environment (Lingkungan)
a.
Kelembaban Ruangan
Hasil penelitian Chahaya, dkk di
Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross sectional didapatkan
bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.
Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan
mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita
sebesar 28 kali
b.
Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah
sehat adalah memiliki suhu optimum 18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan
rumah dibawah 180C atau diatas 300C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi
syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko
terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.
c.
Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak
fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut
tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni
rumah tersebut tetap terjaga.
d.
Kepadatan Hunian Rumah
Menurut Gani dalam penelitiannya di
Sumatera Selatan (2004) menemukan proses kejadian pneumonia pada anak balita
lebih besar pada anak yang tinggal di rumah yang padat dibandingkan dengan anak
yang tinggal di rumah yang tidak padat. Berdasarkan hasil penelitian Chahaya
tahun 2004, kepadatan hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA
sebesar 9 kali.
e.
Penggunaan Anti Nyamuk
Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat
untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan
karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di
lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga
mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.
f.
Bahan Bakar Untuk Memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk
memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas udara menjadi rusak. Kualitas
udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak memenuhi standar nasional pada
tahun 2002, hal ini menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan
penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta kematian.
g.
Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok
aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200
diantaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic
Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian
Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi perokok pasif pada
semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk.
h.
Status Ekonomi dan Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian Djaja,
dkk (2001), didapatkan bahwa bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran
total perbulan bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke
dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan
bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke
pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah.
2.6 Hubungan pejamu, bibit penyakit dan
lingkungan pada penyakit ISPA
Teori
Trias Penyakit menurut Gordon & Le Rich, 1985 bahwa Proses terjadinya
penyakit disebabkan adanya interaksi antara faktor penyebab (agen), faktor
manusia (host) dan faktor lingkungan (environment).
Kondisi
sehat adalah kondisi dimana keadaan agen, host dan environment berada dalam
suatu keseimbangan, seperti gambar dibawah ini :
Apabila
terjadi ketidakseimbangan oleh salah satu faktor maka akan dapat menyebabkan
terjadinya penyakit ISPA, seperti gambar dibawah ini :
Keterangan
:
Apabila
kondisi lingkungan mendukung pada perkembangan agen penyakit ISPA, misalnya
suhu ruangan yang rendah (udara lembab), kepadatan dalam rumah tinggi,
ventilasi rumah yang kurang dan lain sebagainya, maka perkembangan agen
(bakteri dan virus) menjadi meningkat dan kemampuan daya tahan host (manusia)
menjadi rendah. Maka dalam hal ini host memiliki risiko terserang penyakit ISPA
2.7 Cara Penularan Penyakit ISPA
Penyakit ISPA tergolong pada Air
Borne Disease yaitu penyakit yang menular melalui udara. Penularan dapat
terjadi secara langsung ataupun tidak langsung. Kontak langsung dapat terjadi
antara host dan penderita melalui mulut, droplet, batukdan bersin dari
penderita yang terhirup melalui udara oleh host maupun kontak tidak langsung
yaitu kontak dengan benda yang terkontaminasi oleh penderita (misalnya :
tangan, sapu tangan dan peralatan makan penderita).
2.8 Gejala ISPA
Tanda-tanda
bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda
laboratoris.
a. Tanda-tanda klinis
Pada sistem
respiratorik adalah :
·
Tachypnea
·
napas tak
teratur (apnea)
·
retraksi
dinding thorak
·
napas
cuping hidung
·
cyanosis
·
suara napas
lemah atau hilang
·
grunting
expiratoir
·
wheezing.
Pada
sistem cardial adalah :
·
tachycardia
·
bradycardiam
·
hypertensi
·
hypotensi
·
cardiacarrest.
Pada
sistem cerebral adalah :
·
gelisah
·
mudah
terangsang
·
sakit
kepala
·
bingung
·
papil
bendung
·
kejang
·
koma.
Pada
hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.
b.
Tanda-tanda
laboratoris
·
Hypoxemia
·
Hypercapnia
·
Acydosis
(metabolik dan atau respiratorik).
c.
Tanda-tanda
bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah :
·
tidak bisa
minum
·
kejang
·
kesadaran
menurun
·
stridor dan
gizi buruk
d.
Tanda
bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah :
·
kurang bisa
minum (kemampuan minumnya menurun ampai kurang dari setengah volume yang biasa
diminumnya)
·
kejang
·
kesadaran
menurun
·
stridor
·
wheezing
·
demam dan
dingin
2.9 Penatalaksanaan
kasus ISPA
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus
yang benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program pengendalian
penyakit, yaitu :
a. turunnya kematian karena pneumonia
b. turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang tepat
pada pengobatan penyakit ISPA) .
Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan
petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi
penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi
penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan kasus
mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai bagian
dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA. Penatalaksanaan ISPA
meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut :
a.
Pemeriksaan
Pemeriksaan
artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak dengan mengajukan beberapa
pertanyaan kepada ibunya, melihat dan mendengarkan anak.
Hal
ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak menangis (bila menangis akan
meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak tetap dipangku
oleh ibunya. Menghitung napas dapat dilakukan tanpa membuka baju anak. Bila
baju anak tebal, mungkin perlu membuka sedikit untuk melihat gerakan dada.
Untuk melihat tarikan dada bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit. Tanpa
pemeriksaan auskultasi dengan steteskop penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan
diklassifikasi.
b.
Klasifikasi ISPA
Program
Pengendalian ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut:
·
Pneumonia berat:
ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest
indrawing).
·
Pneumonia: ditandai
secara klinis oleh adanya napas cepat.
·
Bukan pneumonia:
ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan
dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan
tonsilitis tergolong bukan pneumonia (4).
c.
Pengobatan
·
Pneumonia berat :
dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigendan sebagainya.
·
Pneumonia: diberi obat
antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol
atau ternyata dengan pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat
dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin
prokain.
·
Bukan pneumonia: tanpa
pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat
digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat
yang merugikan seperti kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam
diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk
pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat)
disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang
tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin)
selama 10 hari.
d.
Perawatan dirumah
Tanda
bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan perawatan
khusus untuk pemeriksaan selanjutnya. Beberapa hal yang perlu dikerjakan
seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA.
ü Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia 2 bulan
samapi 5 tahun demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres,
bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4
kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai
dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan
menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
ü Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat
batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh
dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari.
ü Pemberian makanan
Berikan
makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih
sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang
menyusu tetap diteruskan.
ü Pemberian minuman
Usahakan
pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari
biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan menambah
parah sakit yang diderita.
ü Lain-lain
Tidak dianjurkan
mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada
anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat
kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan
tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap.
Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk
membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat
antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat yang diperoleh tersebut
diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang tidak mendapatkan
antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali kepetugas kesehatan
untuk pemeriksaan ulang.
e.
Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan
dapat dilakukan dengan :
v Menjaga
keadaan gizi agar tetap baik.
v Immunisasi.
v Menjaga
kebersihan prorangan dan lingkungan.
v Mencegah
anak berhubungan dengan penderita ISPA.
Pengendalian
yang dilakukan adalah :
è Penyuluhan
kesehatan yang terutama di tuj ukan pada para ibu.
è Pengelolaan
kasus yang disempurnakan.
è Immunisasi.
f. Pelaksana pengendalian
Tugas
pengendalian penyakit ISPA merupakan tanggung jawab bersama. Peran jajaran
kesehatan, pemangku kepentingan dan masyarakat sangat menentukan pencapaian dari
tujuan program pengendalian penyakit ISPA. Sebagian besar kematiaan akibat
penyakit pneumonia terjadi sebelum penderita mendapat pengobatan petugas
Puskesmas. Karena itu peran serta aktif masyarakat melalui aktifitas kader akan
sangat membantu menemukan kasus-kasus pneumonia yang perlu mendapat pengobatan
antibiotik (kotrimoksasol) dan kasus-kasus pneumonia berat yang perlu segera
dirujuk ke rumah sakit.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Penyakit ISPA
adalah salah satu penyakit yang banyak diderita bayi dan anak-anak, penyebab
kematian dari ISPA yang terbanyak karena pneumonia. Klasifikasi penyakit ISPA
tergantung kepada pemeriksaan dan tanda-tanda bahaya yang diperlihatkan
penderita, Penatalaksanaan dan pemberantasan kasus ISPA diperlukan kerjasama
semua pihak, yaitu peranserta masyarakat terutama ibu-ibu, dokter, para medis
dam kader kesehatan untuk menunjang keberhasilan menurunkan angka, kematian dan
angka kesakitan sesuai harapan pembangunan nasional.
4.2 Saran
Karena yang
terbanyak penyebab kematian dari ISPA adalah karena pneumonia, maka diharapkan
penyakit saluran pernapasan penanganannya dapat diprioritaskan. Disamping itu
penyuluhan kepada ibu-ibu tentang penyakit ISPA perlu ditingkatkan dan
dilaksanakan secara berkesinambungan, serta penatalaksanaan dan pemberantasan
kasus ISPA yang sudah dilaksanakan sekarang
ini, diharapkan lebih ditingkatkan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ranuh, IG. G, Pendekatan Risiko Tinggi Dalam Pengelolaan Pelayanan Kesehatan Anak. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak. FK-UNAIR 1980.
Santosa, G. Masalah Batuk pada Anak. Continuing Education Anak.
FK-UNAIR. 1980..
DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman
Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta. 1992.
Bimbingan Ketrampilan Dalam Penatalaksanaan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut Pada Anak. Jakarata,
:10 ,1991.
Pendekatan
Epidemiologi I dan Dasar-Dasar Surveilans. Untuk Pelatihan Prajabatan Umum dan
Khusus Tenaga Paramedis di Puskesmas. Jakarta. 1992.
Rendie,
J, et.al . Ikhtisar Penyakit Anak. Alih bahasa: Eric Gultom. Binarupa Aksara.
Jakarta. 1994.
Kemenkes
RI. Direktorat Jenderal P2PL. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta. 2012
Depkes
RI.Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta. 2009
Depkes
RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
2007
Dari internet :
http:// www.kajianpustaka.com/2013/07/infeksi_saluran_pernafasan_akut.html diunduh pada selasa, 19 februari
2014 pada pukul : 09.30 wib.
http :
//www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3775/1/fkm-rasmaliah9.pdf
diunduh pada selasa, 19 februari 2014 pada pukul : 09.30 wib.
Judul: Epidemiologi ISPA
Ditulis Oleh OMG SHOP
Silahkan tinggalkan komentar dan sarannya demi kemajuan blog ini kedepan...., Terima kasih
Tidak ada komentar :
Posting Komentar